Judul Film : Jejak Langkah 2 Ulama
Genre : Drama/ Religi
Pemeran : Gus Riza Yusuf Hasyim dan Gus Fahmi
Sutradara : Sigit Ariansyah
Durasi : 2 jam 45 menit
Tanggal Rilis : 17 April 2021
Film ini menceritakan perjuangan dua ulama besar di Indonesia di masa penjajahan, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan selaku Pendiri Muhammadiyah dan Kyai Haji Hasyim Asyari, pendiri Nahdatul Ulama.
Film yang diadaptasi dari sejarah dua ulama sekaligus pendiri dari dua organisasi masyarakat besar di Indonesia merupakan film yang hanya dimiliki oleh Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama saja. Sampai saat ini, film Jejak Langkah 2 Ulama belum dipublikasikan ke publik. Harapannya, bagi yang belum bisa menonton film ini, bisa membaca review atau ulasannya agar juga mengerti cerita yang ada di film tersebut.
Cerita ini dimulai dengan adegan seorang santri yang sedang dikejar oleh para preman. Santri tersebut diselamatkan oleh Plerok, seorang yang bermuka putih dan sering menggunakan syairnya untuk berdakwah. Kemudian santri itu berlindung ke pesantren milik Hasyim Asyari. Adegan tersebut menggambarkan betapa susahnya dakwah yang dilakukan oleh para kyai di zaman penjajahan.
Film ini menceritakan dari masa kecil Ahmad Dahlan dan Hasyim Asyari, yang mana sejak kecil mereka sudah dididik oleh para kyai dari berbagai tempat. Dikisahkan bahwa saat remaja Ahmad Dahlan dan Hasyim Asyari pernah beberapa kali satu perguruan, salah satunya di bawah naungan Kyai Sholeh. Bahkan Raden Ajeng Kartini juga pernah satu perguruan dengan mereka berdua. Bisa dikatakan, Ahmad Dahlan dan Hasyim Asyari pernah satu sanad dalam menuntut ilmu. Keduanya juga melakukan ibadah haji di Mekkah, meskipun tidak dalam waktu yang bersamaan. Setelah keduanya pergi ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji sekaligus menimba ilmu, keduanya langsung mengamalkannya di daerahnya masing-masing.
Terdapat perbedaan dakwah yang dilakukan oleh dua ulama besar tersebut menurut pandangan penulis. Dakwah yang dilakukan oleh Hasyim Asyari berawal dari keresahan yang dirasakan di suatu daerah bernama Tebu Ireng, Jombang. Ia memulai dakwah di situ yang mana musuhnya ialah para penjajah, preman lokal, dan orang-orang yang berbuat maksiat di Tebu Ireng.
Pernah suatu saat pondok pesantrennya diserang oleh preman lokal, hingga akhirnya Hasyim Asyari meminta bantuan pendekar yang berada di Cirebon untuk melatih para santri di Tebu Ireng.
Cobaan tidak berhenti saat itu saja. Dikisahkan, pondok pesantren milik Hasyim Asyari diserang lagi oleh para preman lokal bersama penduduk dengan tuduhan para santrinya mencuri tebu. Akan tetapi, pihak Hasyim Asyari berhasil melawan karena banyak dari santrinya yang sudah dibekali ilmu bela diri. Akibat dari perlawanan itu, pondok pesantrennya hancur terbakar. Meskipun peristiwa itu sangat berdampak terhadap dakwah Hasyim Asyari, tetapi ketenaran yang dimiliki oleh Hasyim Asyari malah semakin bertambah.
Karena ketenaran dan ilmu yang sangat luas yang dimiliki oleh Hasyim Asyari, sampai-sampai kyai yang pernah mengajari ilmu ke Hasyim Asyari juga ikut menjadi santri Hasyim Asyari. Hal ini sangatlah jarang dilakukan oleh orang-orang di zaman sekarang. Seorang guru yang mengakui bahwa ilmunya lebih rendah dari muridnya.
Pernah suatu saat, Hasyim Asyari akan diberikan penghargaan oleh Ratu Belanda pada masa itu dengan harapan Hasyim Asyari juga ikut membantu Belanda. Hasyim Asyari juga ditawari harta yang melimpah dan posisi yang sangat tinggi. Namun, Hasyim Asyari menolak penghargaan tersebut karena ia lebih memilih berdakwah agama Islam di tempatnya, yaitu Indonesia. Di puncak film, pada tahun 1926 Masehi akhirnya Hasyim Asyari bersama ulama-ulama lainnya memutuskan untuk membentuk suatu organisasi bernama Nahdatul Ulama yang berarti kebangkitan para ulama.
Sementara itu, Ahmad Dahlan melakukan dakwahnya di Kauman, Yogyakarta. Di Kauman, tidak sedikit ulama lokal bertolakbelakang dengan perubahan yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan. Sehingga mereka memutuskan agar langgar milik Ahmad Dahlan dirobohkan. Peristiwa itu membuat Ahmad Dahlan patah hati hingga ia ingin hijrah ke Jawa Timur. Namun, karena bujukan dari kakak perempuannya dan semua orang yang mendukungnya, ia tetap melanjutkan dakwahnya di Kauman. Lambat laun, dengan kesabaran dan ketekunannya, banyak orang yang menjadi tercerahkan oleh ajarannya.
Salah satu murid Ahmad Dahlan, Mas Raji pernah menyampaikan keresahannya terkait dakwah yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan. Ia mengatakan bagaimana kalau Ahmad Dahlan meninggal? Siapa yang mau melanjutkan dakwahnya? Siapa yang mau meneruskan perjuangannya? Mas Raji menyarankan agar Ahmad Dahlan mendirikan sebuah organisasi agar dakwah yang dilakukan tetap berlanjut. Kemudian Ahmad Dahlan dan bersama teman-teman lainnya untuk bermusyawarah terkait hal tersebut. Akhirnya tahun 1912 Masehi, mereka memutuskan untuk mendirikan organisasi bernama Muhammadiyah. Ia juga mendirikan organisasi-organisasi di bawah Muhammadiyah, seperti Hizbul Wathan. Banyak Gerakan kemanusiaan yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan seperti mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan. Kata-kata terakhir Ahmad Dahlan sebelum meninggal yang sampai saat ini masih mengenang di benak kita adalah “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah”.
Dalam film berdurasi dua jam ini, kita bisa melihat bagaimana perjuangan dua ulama besar di Indonesia dalam mendakwahkan agama Islam. Sampai-sampai ada penonton yang menangis pada adegan tertentu, seperti perobohan langgar milik Ahmad Dahlan. Bagaimana tidak sedih, kerja keras yang telah susah payah dibangun oleh Ahmad Dahlan dihancurkan begitu saja oleh orang-orang yang tidak suka kepadanya. Sungguh film yang sangat menggugah hati.
Selain itu, kita ditunjukkan nama-nama ulama yang menjadi guru dari Ahmad Dahlan maupun Hasyim Asyari. Kita juga ditunjukkan waktu dan tempat yang ada di film pada tiap scene. Namun, pada film itu terdapat banyak penggunaan bahasa Indonesia yang diucapkan oleh para tokoh. Padahal, pada waktu itu budaya maupun bahasa Jawa masih sangatlah mengakar di tiap daerah di Jawa. Hal itulah yang menjadi minus dari film tersebut.
Penulis: Ahmad Farid Al Azhar
Mahasiswa Aktif Pendidikan Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor: Rhamadani Nisa Alhanifa