(Tulisan ini pernah dimuat di Koran Mahasiswa Pabelan Pos Edisi 50/Juni 2001 dalam rubrik Obrolan Mahasiswa berjudul ” Borjuis Masuk Kampus, Elitis atau Dilematis”, dan ditulis ulang oleh Kholisa Nur Hidayah)
Bagi kebanyakan orang, mahasiswa dipandang sebagai sosok yang intelek yang memiliki kelas tersendiri dalam masyarakat. Namun hal demikian tak selamanya benar. Masuk dalam kehidupan kampus yang lebih mendalam, ternyata tak sedikit yang telah mengubah kultur yang sudah ada selama ini. Kampus sebagai tempat menimba ilmu secara perlahan beralih fungsi sebagai ajang pamer kekayaan. Elitisme borjuis dalam realitasnya memang mempunyai tempat serta pandangan tersendiri di kalangan mahasiswa.
Fajar Kurniawan, seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) pada kala itu, mengungkapkan jika pandangan mahasiswa terhadap istilah borjuis masuk kampus sudah tidak asing lagi. Pada dasarnya mahasiswa perlu memiliki nilai-nilai keintelektualan, tidak hanya bergantung pada modal tampang dan barang bawaan. Ia juga berpendapat jika mahasiswa dalam konteks keilmuan dianjurkan untuk lebih mengedepankan pemikiran-pemikiran yang nyata dan lebih mengedepankan pemahaman pendidikan dibandingkan sibuk berlomba-lomba pamer harta.
Lembaga kemahasiswaan dapat mengupayakan beragam kegiatan untuk mempertipis garis perbedaan ini, misalnya diskusi bersama guna meningkatkan wacana keilmuan dan intelektualitas mahasiswa. Selain itu, perlu adanya peran pihak universitas dalam meluruskan tujuan para mahasiswa dalam perguruan tinggi, misalnya dengan adanya kode etik kemahasiswaan.
Wiyatno sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Slamet Riyadi (Unisri) pada saat itu, berpendapat jika tidak semua bersifat borjuis. Realitas borjuis dalam kampus memang ada pada kalangan mahasiswa. Di mana terdapat dua kecenderungan dalam mengamati hal tersebut, yaitu ada orang yang tidak mau disebut sebagai borjuis dan sebaliknya adalah ada orang yang ingin dikatakan sebagai borjuis.
Realitasnya dalam kehidupan kampus, banyak dari kalangan mahasiswa yang ingin terlihat borjuis tetapi kenyataannya mereka berasal dari kalangan keluarga yang biasa. Hal itu dilakukan dengan tujuan ingin dipandang sebagai orang yang terpandang dan lebih dari lainnya.
Sementara Mahfud Khairudin, dari Fakultas Ekonomi Manajemen, Universitas Tunas Pembangunan (UTP) kala itu berpendapat jika istilah borjuis masuk kampus dianggap hal yang sudah biasa. Menurutnya, mahasiswa lebih perlu mengutamakan segi keintelektualan daripada penampilan fisik saja. Ia berpendapat dengan adanya bekal ilmu yang dimiliki seseorang selama perkuliahan tentunya akan dapat diandalkan dalam kehidupan bermasyarakat. Kelebihan fasilitas-fasilitas tersebut hendaknya membuat kita semakin giat dalam menuntut ilmu.
Selain itu, Firstian Enandrian, seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kala itu, mengungkapkan bahwa borjuis masuk ke dalam kehidupan kampus bukan hal yang baru lagi, melainkan sudah lama. Seorang mahasiswa borjuis lebih identik dengan seseorang yang memiliki keturunan keluarga yang memiliki kelebihan dalam segi materiel. Menurutnya wajar jika kelebihan materiel tersebut diwujudkan dengan pemenuhan fasilitas mewah sebagai penunjang perkuliahannya. Namun akan menjadi masalah jika mahasiswa borjuis tersebut unggul dalam materiel, tetapi nol di bidang akademik. Hal ini, lanjutnya, membuat nama almamater dipertaruhkan.
Ia berpendapat bahwa mahasiswa borjuis bisa akrab dengan orang yang memiliki latar belakang sosial yang berbeda dengan mereka, begitupun sebaliknya. Karena kehidupan yang saling menghargai itulah yang seharusnya tercipta satu sama lain.
Di sini dapat dilihat bahwa mahasiswa borjuis tak bangga dan sombong dengan kekayaan yang dimiliki orang tua mereka, dan begitupun sebaliknya golongan lain tidak apriori dengan para kaum borjuis.
Editor: Aliffia Khoirinnisa