(Tulisan ini pernah dimuat di Koran Mahasiswa Pabelan Pos Edisi 46/Oktober 2000 dalam rubrik Urun Rembug berjudul “Membedah Kinerja Pembimbing Akademik”, dan ditulis ulang oleh Anisa Fitri Rahmawati)
Di kalangan perguruan tinggi, dapat dikatakan bahwa sosok Pembimbing Akademik (PA) mempunyai andil yang besar dalam menentukan lamanya masa studi mahasiswa. Seorang pembimbing akademik seharusnya bisa mengarahkan mahasiswanya tentang hal-hal apa saja yang perlu dilakukan agar studinya bisa berjalan cepat dan lancar. Secara pengertian, pembimbing akademik atau yang lebih dikenal dengan sebutan PA, mempunyai tugas untuk mengarahkan dan meningkatkan pemahaman mahasiswa di bidang akademik selama masa kuliah. Akan tetapi, sejauh ini peranan PA bagi mahasiswa kerap kali mendapat sorotan.
Dalam tulisan Bahruddin Rosyid yang berjudul PA Idealnya Fleksibel dan Adaptif-Komunikatif dijelaskan bahwa PA itu terbagi dalam tiga macam. Pertama, PA yang idealis dan ketat dalam menjalankan aturan pembimbingan, di mana semua harus sesuai dengan buku pedoman. Kedua, PA yang fleksibel dan komunikatif. Mereka bersedia untuk berdiskusi tentang masalah yang dihadapi mahasiswa bimbingannya. Ketiga, PA yang ‘nakal’ dan harus di-jewer. Dalam artian, PA yang membebaskan mahasiswanya untuk menentukan Satuan Kredit Semester (SKS) yang diambil tanpa memperhatikan kondisi dan kemampuan mahasiswanya. Bagi Baharuddin, tipe ideal dari PA ialah yang fleksibel dan adaptif-komunikatif.
Suswanto Ismadi Megah yang kala itu sebagai salah satu mahasiswa dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi (Prodi) Bahasa Inggris, dalam tulisannya yang berjudul Keterlaluan, Kalau PA Tidak Memahami Mahasiswa, menyatakan bahwa terdapat rumor jika keberadaan PA tidak menjalankan fungsinya secara optimal. Sebenarnya PA dapat menentukan sebuah kebijakan tertentu, asalkan tidak melanggar hak dari mahasiswanya.
Menurutnya, PA itu harus komunikatif dan mampu melihat kondisi mahasiswanya. Seorang PA tidak boleh memaksakan sebuah sistem yang secara subjektif dirasakan baik, tetapi belum tentu sesuai atau bahkan tidak cocok dengan kondisi dan kebutuhan mahasiswa.
Hidayat Hanif Mustofa yang merupakan salah satu mahasiswa Fakultas Agama Islam (FAI), pada saat itu menyatakan pemahamannya terkait PA. Menurutnya PA adalah orang tua mahasiswa saat di kampus, yang mana figur ini menjadi contoh di bidang akademis dan bahkan dalam kehidupan sosial mahasiswa. Idealnya seorang PA mampu dan bersedia untuk menjadi teman diskusi sekaligus sebagai moderator yang menjembatani keinginan mahasiswa serta peraturan kampus. Sehingga, sosok PA harus mampu memahami mahasiswanya dari sisi seorang manusia dan sisi sebagai seorang mahasiswa.
Salah satu mahasiswa Fakultas Hukum kala itu yang bernama Melly Setyawati turut menuturkan bahwa masalah PA terdapat kesan untung-untungan, yaitu ada PA yang benar-benar melakukan fungsinya secara kaku, ada pula PA yang fleksibel menjalankan aturan. Seorang PA harus benar-benar bisa membimbing mahasiswanya. Dia harus mengerti di mana saatnya memberikan “reward” dan “punishment” tanpa harus melanggar ketentuan yang berlaku. Namun, apabila PA tidak mampu menyeimbangkan, maka akan terjadi kesenjangan antara hak mahasiswa dengan kewajiban PA.
Ia mengungkapkan, baginya seorang PA yang ideal harus mampu menumbuhkan iklim hubungan yang kondusif antara mahasiswa yang dibimbingnya. PA harus mampu menjalankan fungsinya, yaitu sebagai orang tua di fakultas dan sebagai tempat mengadu.
Peranan seorang PA memang sangat dibutuhkan bagi setiap mahasiswa. Mempunyai PA yang tepat, dapat memperlancar jalannya perkuliahan. Selain itu, seorang PA bisa menjadi tempat mengadu atas keluh kesah selama perkuliahan, sehingga mahasiswa bisa mendapat saran yang tepat untuk dijalani.
Editor: Jannah Arrum Sari