(Tulisan ini pernah dimuat di Pabelan Pos Edisi 46/Oktober 2000 dalam rubrik Opini berjudul “Menyoal Idealisme Kampus Sebuah Renungan Terhadap Sistem Pendidikan”,ditulis oleh Bambang Irawan dan ditulis ulang oleh Vaneza Benedista)
Gedung tinggi dan banyaknya mahasiswa merupakan hal yang identik dengan kemegahan kampus, tetapi ternyata memiliki nuansa lain dengan dunia pendidikan. Tujuan murni dunia pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan umat manusia. Namun, hal itu telah dinodai oleh tangan-tangan kapitalis. Dapat dilihat dalam pengelolaan sebuah institusi pendidikan, misalnya. Yang mana unsur materi selalu menghegemoni para pengelola kampus.
Pemahaman seperti itu yang selalu menghantui generasi muda dalam menempuh dan meraih pengetahuan untuk mencerdaskan masyarakat. Hal tersebut bisa mengakibatkan kemuakkan di lingkungan mahasiswa apabila terus membudaya dan berkembang di kalangan mahasiwa.
Tempat yang seharusnya digunakan untuk mengembangkan keilmuan ternyata hanya sebuah permainan uang yang tujuan dan arahnya tentu saja tidak jelas. Seharusnya, tempat tersebut dijadikan sebagai wacana untuk mencari solusi dari berbagai permasalahan yang ada dan dijadikan sebagai hiasan sebuah penghargaan akan hak dan pikiran masing-masing. Tempat yang menjadi wadah untuk penghuninya berkarya yang memungkinkan muncul beribu-ribu lembar pikiran brilian.
Kemirisan juga akan muncul ketika melihat ocehan-ocehan tak bermakna di gedung kampus. Hanya retorika yang diumbar dan tidak menampakkan langkah konkret pada sebuah tindakan. Banyak di antara mahasiswa yang menggantungkan harapan mereka pada dunia kampus, hal tersebut sudah menjadi kecenderungan yang diibaratkan seperti nasi yang sudah menjadi bubur. Mereka meyakini kampus bisa memberikan segalanya. Keyakinan mereka sudah terlalu jauh karena asumsi yang mengatakan bahwa tidak ada tempat lain yang dapat memberikan harapan menuju masa depan.
Mahasiswa hanya dijejali pikiran-pikiran orang lain, serta tidak pernah bangga dengan pikiran mereka sendiri. Ruangan itu telah menjadikan mereka sulit untuk masuk ke ruangan yang dicita-citakan. Hal tersebut tentu dapat terjadi karena pemikiran mahasiswa yang sebelumnya sudah terlanjur percaya bahwa hanya ruangan itulah yang bisa memberikan segalanya.
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di kampus cenderung terlupakan, kesadaran untuk segera bertindak harus cepat digulirkan, tidak hanya menunggu dan berpikir. Hal tersebut dapat dilogikakan dengan komunitas semut yang ada di poster, di mana mereka begitu solid dalam memperjuangkan sesuatu. Semut-semut tersebut selalu membawa satu visi dan satu misi, yang artinya mereka tahu artinya bersatu.
Mahasiswa harus bersatu dan sadar bahwa sistem pendidikan yang ada hanyalah menjadikan mahasiwa makhluk yang asing, angkuh, dan sombong. Hal lain yang dapat dipetik dari poster semut adalah mahasiswa harus bersatu untuk mengembalikan gedung pendidikan itu sebagai gedung yang benar-benar bernuansa ilmiah.
Pelajaran lain yang harus diambil dari permasalahan di atas, khususnya tentang idealisme kampus, kita harus bangkit, bersatu, dan tidak tinggal diam. Perlu adanya perjuangan untuk meluruskan kekeliruan dalam pelaksanaan operasional kampus. Berusaha untuk mengembalikan kampus sebagai gedung keilmuan dan intelektualitas. Bukan menjadi gedung bagi mereka para birokrat kampus yang biasanya hanya mengeluarkan buih-buih tak berarti.
Editor: Ashari Thahira