Pemandangan matahari terbit di sini tak pernah gagal memukau penglihatan. Di atas bukit yang langsung berhadapan dengan laut inilah tempat Wati berdiri sekarang. Hamparan tanaman kacang, jagung, dan umbi-umbian terlihat dari bukit sebelah.
Sekarang umur Wati menginjak 45 tahun. Selama beberapa bulan ini ia harus bertahan hidup di bukit yang menjadi lahan pertaniannya bersama Hasan sang suami. Setelah dikaruniai tujuh orang anak, Wati harus berusaha lebih keras dalam mencari nafkah.
Bertani adalah sumber penghasilan utama warga dusun Sepakat. Sekitar bulan Juni, mereka harus segera mencari bukit atau hutan yang bisa dijadikan lahan pertanian. Bukit dan hutan dibersihkan dari berbagai tanaman liar. Pohon-pohon ditebang dan dibakar sampai lahan siap ditanami.
Warga kampung yang ingin anak-anaknya mendapat pendidikan lebih baik, berbondong-bondong menyekolahkan anaknya jauh ke kota. Begitu pula dengan Wati. Hari ini ia mendapat kabar dari sang anak yang sedang menempuh pendidikan di luar kota bahwa dua bulan lagi ia harus membayar biaya sekolah.
“Iya nak, semoga dua bulan lagi kita bisa panen dengan hasil melimpah. Jangan lupa doakan ya.”
Wati menanam kacang dan jagung di lahannya. Tinggal di bukit membuat sang suami sering kali harus bolak balik dari ladang dan pemukiman untuk membeli keperluan serta bahan pokok. Dengan motor tuanya, Hasan harus menempuh jarak 20 kilometer dari ladang menuju rumahnya.
“Bu, harga bahan bakar naik lagi, jadi harga lain juga ikut naik. Kita harus lebih berhemat,” ujar Hasan kepada istrinya.
“Uang simpanan tinggal sedikit, Pak. Waktu panen masih lama, curah hujan juga tak menentu.”
“Apa perlu kita perluas lahan kita dengan hutan di bawah bukit ini?”
“Tapi kan itu bukan lahan pertanian seperti biasanya, Pak. Kita bisa merusak hutan.”
“Untuk sementara kan tidak apa-apa, nanti kita tanami lagi pohonnya.”
Hasan dan Wati menyiapkan lahan pertanian, membersihkan lahan dari pohon dan memasang pagar untuk menjaga tanaman dari hewan liar. Kemudian tibalah hari di mana Wati dan Hasan menanam bibit. Ada 20 orang yang membantu mereka menanam, dengan gaji 70 ribu rupiah per hari.
Tanaman harus dirawat dan dijaga dari hewan pengganggu atau hama. Untuk yang mempunyai lahan di bukit, mereka harus bersedia berhadapan dengan monyet. Dan yang mempunyai lahan di hutan, mereka harus menjaga tanamannya dari gangguan babi hutan.
Cuaca yang tidak menentu membuat para petani risau. Semakin hari cuaca semakin panas dan hujan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan turun. Karena itu, Wati harus turun dari bukit untuk mencari air ke tengah hutan. Sumber mata air semakin berkurang sehingga yang tersisa hanya di hutan.
Dalam perjalanan ke hutan, Wati melihat babi dengan luka di sekujur tubuhnya. Bisa dipastikan luka itu ia dapat setelah masuk ke lahan dan mencoba mengganggu tanaman para petani.
“Makanya kamu cari makan di tempat lain saja, di bagian sana kan hutannya sudah jadi lahan petani,” kata Wati sambil berharap babi itu paham perkataannya.
Wati kembali ke bukit dengan membawa air. Setelah meletakkan air di tempatnya, ia mencari keberadaan Hasan. Ternyata Hasan sedang mengusir monyet yang masuk ke lahan mereka. untuk mengusir monyet, Hasan menggunakan bantuan anjing. Anjing yang dirantai itu menggonggong menakuti segerombolan monyet sampai mereka lari menjauh.
Setelah satu minggu ditunggu, hujan akhirnya turun siang hari ini. Hujan turun bersama angin kencang, membuat atap gubuk Wati berkibar. Pepohonan bergoyang ke kanan dan ke kiri seiring dengan arah gerak angin. Walaupun sangat menunggu kehadiran hujan, Wati mengeluhkan angin yang membersamai hujan.
“Cuaca benar-benar tak menentu dan tak sesuai prediksi,” gumamnya.
Hujan lebat membuat serangga dan hama pengganggu muncul. Kalau hal seperti ini terjadi, petani biasanya menggunakan pestisida untuk mengusirnya. Campuran pestisida dan air disemprotkan ke tanaman menggunakan mesin kecil berbahan bakar bensin.
Wati dan Hasan bingung karena mereka tidak mempunyai stok pestisida. Untungnya, tetangga lahan mereka berbaik hati meminjamkan pestisida mereka, walaupun dengan syarat Hasan harus menyemprotkan pestisida ke lahan mereka yang luasnya satuhektare.
“Namanya juga kita butuh, Bu. Mereka tidak mungkin meminjamkan tanpa imbalan ke kita,” ujar Hasan setelah mendengar istrinya mengeluh.
Pestisida harus disemprotkan rutin sampai hama pengganggu hilang. Perjuangan mencari nafkah memang tak mudah, maka Wati dan Hasan berusaha sabar dan berharap hama-hama itu segera hilang, sebelum tanaman mereka rusak.
Wati sangat was-was begitu melihat cuaca mendung sejak pagi. Sesuai perkiraannya, Sore hari ini hujan kembali turun. Padahal baru beberapa hari yang lalu ia dan suaminya berhasil mengusir hama. Namun dua hari setelah hujan turun, bukan hama yang bermunculan, tapi ilalang dan tumbuhan liar lain. Tanaman liar ini bisa saja dihilangkan oleh pestisida, tetapi karena harganya yang cukup mahal, maka Wati memilih untuk mencabut tanaman liar ini dengan tangannya sendiri.
Bulan Desember menjadi bulan yang sibuk bagi warga Dusun Sepakat. Setelah merawat tanamannya selama kurang lebih empat bulan, hari ini mereka akhirnya bisa panen. Namun cuaca panas membuat panen terasa barat. Tanaman kacang dan umbi-umbian yang harus dicabut dari tanah ini butuh hujan.
Hujan yang tak kunjung datang membuat panen lebih lama, belum lagi lahan Wati yang sekarang sudah bertambah. Panen bisa memakan waktu satu sampai dua bulan.
Setelah panen selesai, para petani menjual hasil panen kepada pembeli yang akan mengekspor hasil panen tersebut ke luar daerah. Tentunya petani merasa puas dan bahagia bisa mendapatkan hasil panen yang memuaskan.
Wati selesai menimbang hasil panennya. Hari ini pembeli akan datang dan ia akan segera melunasi pembayaran sekolah anaknya. Namun, pembeli memberi tahu kan bahwa hasil panen Wati terlalu banyak jika dibeli kontan, sehingga Wati harus bersabar sampai hasil panennya berhasil diekspor agar bisa menerima semua hasil penjualan.
Bulan Februari akhir musim penghujan, musim bercocok tanam selesai. Warga Dusun Sepakat kembali ke pemukiman masing-masing dan lahan pertanian sudah ditinggalkan.
Hujan deras turun seharian, disertai angin kencang. Aliran listrik dipadamkan karena takut ada pepohonan tumbang yang rubuh dan menimpa pembangkit listrik. Sejak pagi Wati hanya berdiam diri di rumah. Hujan membuatnya tak bisa ke mana-mana.
“Arus sungai naik, Banjirrr,” teriak warga, mereka berbondong-bondong menyelamatkan barang-barangnya dari banjir.
Air sungai yang deras mengakibatkan jembatan rubuh, tanah longsor, dan hewan-hewan terbawa arus. Manusia sibuk menyelamatkan dirinya sendiri. Alam yang dibutuhkan manusia menunjukkan amarah dengan apa yang terjadi. Jembatan rubuh dan tanah longsor membuat warga tidak bisa ke mana-mana. Harga yang harus dibayar atas apa yang sudah mereka ambil dari alam. Hasan tak sempat memenuhi janjinya untuk menanam kembali pohon-pohon yang dia tebang.
Penulis: Hasbiatullah
Mahasiswa Aktif Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor: Anisa Fitri Rahmawati