Sebuah kabar tidak menyenangkan menghampiri beranda di media sosial saya pada beberapa pekan terakhir. Barangkali hal serupa juga dialami yang lain. Soal salah satu perguruan tinggi di Bali. Tepatnya Universitas Udayana.
Di sana, di kampus yang notabene berstatus negeri itu telah terjadi pengkhianatan kaum intelektual yang datang dari sosok rektor kampus itu sendiri.
Inilah kenyataan yang terjadi sebenarnya. Pengkhianatan kaum cendekiawan bukan lagi jadi hal baru bagi kalangan intelektual. Kasus tersebut menambah rentetan kasus serupa yang pernah terjadi di berbagai belahan dunia.
Pada kisaran akhir abad 20, Julien Benda menulis buku yang berjudul La trahison des Clerc. Di buku itu, penulis menunjukkan fenomena pengkhianatan kaum intelektual atau cendikiawan masa itu.
Dalam kasus Rektor Universitas Udayana ini, kedalaman sumur pengetahuan seorang rektor akan ditangguhkan sebagaimana tindak lakunya yang ternyata tidak sesuai dengan statusnya sebagai kaum intelektual.
Bonus Demografi (Hanya) Bualan
Di berbagai laman media, persisnya sejak 2020 mungkin tidak sedikit kabar mengenai soal adanya bonus demografi di Indonesia pada tahun 2030 hingga 2045. Hal tersebut diucapkan langsung oleh Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy dalam laman web kominfo.co.id.
Bonus demografi adalah masa di mana penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas) dengan proporsi melebihi 60% dari total jumlah penduduk Indonesia.
Artinya, akan ada pelonjakan intelektual di masa tersebut yang akan membangun generasi emas nantinya. Namun, faktanya bagaimana dengan keadaan yang kini tengah terjadi tidak membuat saya percaya soal Indonesia Emas tersebut.
Bagaimana kepercayaan pemuda dapat terbangun, sementara pemimpin-pemimpin yang kini menempati posisi strategis di lembaga pendidikan justru tak mampu menunjukkan posisi intelektual yang semestinya.
Contohnya, Rektor Universitas Udayana yang beberapa waktu lalu terjerat kasus korupsi soal uang pangkal atau Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI).
Bagaimana bisa hadir ribuan generasi emas, sementara seorang rektor yang sudah melalui dalamnya sumur keilmuan tidak mampu menjadi acuan moral bangsa. Tak hanya itu, karena kasusnya, ia telah gagal menjadi lokomotif keilmuan bagi mahasiswa.
Sangat disayangkan ketika kabar tersebut beredar. Lantas bagaimanakah sejatinya keberpihakan intelektual?
Posisi Intelektual: Mempertahankan Idealisme
Intelektual merupakan satu frase kata yang amat besar maknanya. Seorang pemikir abad 20 Antonio Gramsci pernah mengatakan, “Semua orang adalah intelektual, tetapi tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual”. Baginya, lewat pernyataan itu, setiap orang yang berpikir berarti orang itu memiliki intelektual.
Namun tidak semua menggunakan fungsi intelektualnya. Dengan begitu, bagi Gramsci sosok intelektual sejatinya ialah semua orang yang mempunyai fungsi organisator dalam semua lapisan masyarakat, dalam wilayah politik dan kebudayaan.
Gramsci membagi intelektual kepada dua kelas. Pertama, intelektual tradisonal. Akan muncul dari kelas dominan di tengah masyarakat. Yang mana, seseorang akan berpikir untuk sebuah kepentingan kekuasaan atau kelompok yang mampu membayarnya.
Dalam arti, kelas yang pertama ini hanya menempati posisi tertentu. Misalnya, seperti pengacara yang membela kliennya dan ia selalu berkaitan dengan faktor ekonomi dalam memfungsikan ke-intelektualan-nya.
Kedua, intelektual organik. Akan muncul pada kelas dominan bahkan juga kelas subordinat di tengah masyarakat. Biasanya bisa ditemui pada seluruh lapisan masyarakat yang ada, mulai dari petani hingga pejabat pemerintah.
Yang membedakan ialah pada aspek moral, di mana sosok intelektual organik akan mempertahakan moralnya sebagaimana posisinya, sehingga ia akan selalu pada jalur idealismenya.
Nah, dari kedua kelas yang dilontarkan oleh Gramsci, bisa dilihat bahwa seorang rektor yang sudah menyelami titik terdalam ilmu pengetahuan, yang sudah menyandang gelar profesor, seharusnya memegang prinsip-prinsip idealisme yang tidak hanyut dengan gemerlapnya dunia.
Dengan arti lain, seorang rektor harus bisa menghindari perilaku yang sifatnya amoral, korupsi, dan lain sebagainya.
Yang juga didukung oleh salah satu pemikiran Julian Benda dalam bukunya tadi. Bahwa kerajaan seorang manusia tidaklah di dunia, melainkan di alam setelahnya. Semakin jelas jika seorang intelektual semestinya mampu bertahan dari gemerlapnya dunia.
Dari kenyataan di atas, menunjukkan bahwa sedalam apa pun kecerdasan seseorang bahkan setinggi apapun gelar seseorang, belum mampu juga menunjukkan kalau ia adalah seorang intelektual yang mampu memegang idealismenya.
Menuju Indonesia Emas, Jangan Hanya Jadi Bualan
Indonesia emas tidak akan pernah hadir di tengah kehidupan yang demikian penuh kepentingan duniawi saja, karena Indonesia emas harus dibangun mulai dari sejak dini. Artinya perlu direkonstruksi.
Pendidikan di negeri ini perlu diatur ulang, khususnya pendidikan soal moral dan akhlak. Dua nilai itu menjadi faktor terpenting dalam membangun Indonesia yang berkarakter, sehingga tidak ada lagi sosok yang bertindak seperti Rektor Universitas Udayana saat ini.
Sebagai figur publik di dunia pendidikan, sudah semestinya menampilkan kesejatiannya dalam memegang prinsip idealisme yang penuh dengan tindakan bermoral.
Menyusuri jalan intelektual yang teguh dan berprinsip, serta tidak mudah tergoyah oleh gemerlapnya dunia menjadi satu tantangan tersendiri apabila Indonesia ingin melahirkan generasi emas di masa mendatang. Sehingga apa yang dikatakan oleh Menteri PMK, Muhadjir Effendy tidak sekadar bualan semata. Wallahu a’lam bis shawwaf.
Penulis: Anas Asy’ari Nashuha
Mahasiswa Aktif Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor: Novali Panji Nugroho