Judul Buku : Kambing dan Hujan
Penulis : Mahfud Ikhwan
Penerbit : Penerbit Bentang, Yogyakarta
Tahun terbit. : 2015
Jumlah halaman : 380 halaman
Kambing dan Hujan, merupakan sebuah novel pemenang Sayembara Novel DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) pada tahun 2014, diperkenalkan dengan roman antara pemuda dan pemudi Desa Centong, Mif (Miftah) dan Zia (Fauzia).
Mif adalah anak pentolan Muhammadiyah, Pak Kandar, dan Zia adalah anak Kiai Nahdlatul Ulama (NU) Pak Fauzan. Kedua tokoh organisasi masyarakat (ormas) Desa Centong tersebut nyatanya mempunyai masa lalu yang lebih panjang dan tak kalah menarik untuk disimak.
Buku ini didalamnya menceritakan roman persahabatan antara kedua tokoh ormas inilah yang sebenarnya menjadi pondasi cerita. Mahfud Ikhwan sebagai penulis, secara tak langsung, seperti sedang memaparkan realita yang terjadi di sekitar lingkungan tempatnya tinggal, saking ngena-nya interaksi yang dihadirkan di antara para tokoh.
Dalam hampir 400 halaman, penulis dengan gemi mengurai kondisi sosial dan politik serta problema masyarakat umum; antara kaum tua dan muda, antara tradisional yang kelewat konservatif dan modern yang kelewat progresif, dan lain-lain tanpa membuat ceritanya kehilangan alur meski sejenak.
Justru sebaliknya, ia tetap mengalir dengan gaya membumi dan terasa nyastra-nya, kritis dan bermoral tanpa kesan mendikte/ceramah.
Dalam kisahnya dipaparkan oleh si penulis tentang penggunaan qunut di salat Subuh, tarawih dua puluh atau delapan rakaat, penentuan awal atau akhir ramadan, dan lain-lain memang bukan hal fundamental, furu’iyah, bagi mereka yang memahami perkara tersebut.
Namun, perbedaan-perbedaan seperti itu di tingkat akar rumput bisa menjelma sesuatu yang amat sensitif. Bagi masyarakat awam, hal itu seperti memperjuangkan harga diri, kasarnya bisa sampai prinsip hidup atau mati, dan penulis berhasil mengemasnya dengan apik.
Jikalau menilik proses kreatifnya, pemaparan konflik yang demikian alot dan rumit ini bukanlah tanpa alasan.
Sebagaimana diakui penulis dalam sesi live yang dilakukan Bersama Klub Buku Narasi, novel ini telah memakan waktu sembilan tahun dengan ratusan referensi selama disusun.
Penulis dalam live itu juga menegaskan, perbedaan kultural, yang menjadi inspirasi novelnya, dalam pandangannya adalah sebuah bentuk berlomba-lomba dalam kebaikan.
Singkatnya, dalam balutan perjuangan cinta atau roman antartokohnya, novel ini seperti ingin menyimpulkan bahwa tembok perbedaan tradisi yang ada, setinggi atau se-njlimet apapun, kalau punya pemahaman dan tekad yang kuat, masih bisa dipasangkan gerbang-gerbang penghubung.
Gerbang yang bahkan akan memperindah, mewarnai, dan meramaikan temboknya. Tidak serta merta saling meruntuhkan ataupun menaklukan. Tidak juga harus saling menjauhi bak sumber penyakit.
Bagi pembaca siapa pun yang merasa dirinya dekat dengan tradisi keberagaman antara NU dan Muhammadiyah di Indonesia, khususnya di daerah, bacalah novel ini.
Gaya bahasanya yang disajikan dalam novel ini dikemas secara apik. Percakapannya kasual. Hanya saja, ada beberapa istilah lokal dan agama yang masih perlu ‘googling‘, agaknya penggunaan istilah itu memang diperlukan untuk memperkuat latar cerita serta penokohan.
Tentu buku ini direkomendasikan untuk siapa pun boleh membacanya dan mendapatkan intisari apapun dalam buku novel ini dengan bekal akal yang dimilikinya. Novel ini tentu bisa menjadi salah satu bacaan yang direkomendasikan.
Adapun selain persuasif, saran di atas juga bisa dimaknai preventif bagi pembaca jikalau kurang relevan dengan tradisi keberagaman (berbasis keberagamaan).
Seperti yang telah disebutkan, sangat mungkin novel ini akan tidak luput dengan rasa membosankan. Namanya selera, wajar apabila tidak semua orang doyan minum kopi hitam, ngisap rokok, atau—supaya semakin mirip Mif—makan sayur asam buah kelor, dendeng ikan layur yang digoreng kering, dan bakwan jagung muda, kan?
Penulis: Akhdan Muhammad Alfawaz
Mahasiswa Aktif Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor: Shafy Garneta Maheswari