Sorak-sorai massa kala itu ketika menuju gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota Surakarta suasana yang begitu menggelegar, sambil jalan mereka menyampaikan tuntutan melalui Flayer dan poster yang dibawanya. Dengan bersimbah keringat di tengah bulan puasa mereka berpanas-panasan melakukan tuntutan aksinya. Sesampainya mereka di depan gedung dewan itu, mereka disambut baik oleh aparat yang didominasi polisi wanita (Polwan).
Ramainya suasana pada saat itu turut dihadiri dari gabungan dari beberapa mahasiswa universitas di Solo dengan melakukan aksi menuntut anggota DPRD untuk keluar guna menghampiri massa serta menandatangani tuntutan massa aksi.
Kehadiran mereka diwarnai aksi dengan riuh membakar ban, membawa tikus, menutup jalan dan sesekali mencemooh para anggota dengan kata-kata tikus dan pengkhianat. Anggota dewan yang justru keras kepala itu lantas keluar untuk mendatangi massa aksi dan menyetujui tuntutan mereka.
Tapi selang beberapa hari selepas aksi, sama sekali tak ada perubahan dengan Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptakerja) yang masih saja berjalan. Tuntutan mereka semua seakan-akan hanya menjadi bahan candaan.
Apakah aksi yang dilakukan mereka para mahasiswa hanyalah sekadar formalitas? Atau hanya sekadar gengsi belaka melihat universitas lain ramai-ramai berdemo? Kalau tahu begitu kenapa mereka tidak turun menuntut aksi lagi?
Sudah menjadi pembicaraan sejak pandemi Covid-19 dimana seorang mahasiswa dipaksa mengurung diri di rumah dan bermain dengan handphone-nya masing-masing kala itu, mulailah banyak konten yang membahas seberapa penting organisasi mahasiswa di kampus. Ada yang bilang sangat penting ada yang bilang tidak penting sama sekali.
Dimata banyaknya mahasiswa, organisasi kampus sudah mulai kehilangan esensinya mangapa demikian? Boro-boro memberikan pengalaman, organisasi justru merusak karier akademik. Belum lagi senioritas yang tinggi seakan melekat tanpa sekat pada tubuh organisasi. Jadi masih salahkah jika ada mahasiswa yang memilih kuliah pulang notebenya terkenal dengan sebutan mahasiswa (kupu-kupu) daripada menjadi mahasiswa kuliah rapat (kura-kura)?.
Sebenarnya dari kejadian tersebut banyak sekali faktor yang menjadikan organisasi mahasiswa saat ini dibilang melemah. Pertama, mungkin dikarenakan minimnya esensi dan value yang ditawarkan pada anggotanya.
Tentu saja hal tersebut berdampak terhadap mereka semua untuk mencari wadah lain yang dapat memberikan pengalaman yang lebih besar, lebih-lebih mendapatkan penghasilan sampingan. Maka dengan begitu, mereka lebih tertarik dengan program pemerintah (seperti Kampus Merdeka) yang bisa membantu kegiatan akademik di kampusnya.
Adapun alasan kedua adalah masih terdapat budaya kuno dalam cara kerja di lingkup organisasi. Apalagi kalau bukan budaya senioritas. Hal semacam itu terkadang kerap kali kita jumpai bahwa organisasi mahasiswa sangat kental dengan sifat senioritas. Dengan berdalih pendisiplinan dan latihan mental mereka bergerak dibalik bayang-bayang tersebut untuk memeras dan memanfaatkan adik-adiknya.
Terlebih juga belum lagi adanya intervensi dari demisioner yang menyebabkan dalam suatu organisasi menjadi sulit untuk berkembang. Seringkali mereka melampaui batas sehingga mempengaruhi keputusan pengurus yang sedang menjalankan kepengurusan pada saat itu.
Idealnya posisi demisioner hanya bertindak sebatas pengawas dan pengarah saja namun, apabila ada hal-hal yang melenceng dari jalur organisasi maka bisa dibantu dan diberi pengetahuan. Bukan malah mencecar dan mengatakan kinerja pengurus tidak benar dan ataupun gagal. Sudah bekerja tidak digaji, dimarahi pula, siapa yang dengan sadar mau melakukan hal itu? Saya rasa tidak ada yang mau dengan hal semacam itu.
Pada intinya didalam suatu lingkup organisasi mahasiswa kini seharusnya segera berbenah dengan kondisi yang ada. Dikarenakan setiap tahunnya antusiasme mahasiswa terhadap kegiatan keorganisasian di kampus kian menurun.
Seharusnya fakta tersebut bisa menjadi bahan evaluasi kedepannya supaya kedepannya gerak langkah organisasi masih bisa menyambung hidup di kampus. Kalau organisasi tidak segera berbenah akan hal tersebut, maka tinggal tunggu waktu matinya saja.
Bukannya saya ingin menjatuhkan, saya juga mengalami hal ini dan sedang berupaya dalam mencari formulasi baru yang kiranya bisa relevan dengan kemauan anak-anak milenial kini.
Karena kalau masih menawarkan prestasi masa lalu seperti jejaring, public speaking dan lainnya saya kira itu sudah bisa mereka dapatkan di tempat lain tanpa harus masuk organisasi. Perlu dipikirkan lagi kedepannya terhadap apa yang sekiranya bisa menjadi nilai tambah pada suatu organisasi yang bisa didapatkan anggotanya nanti.
Penulis: Muhammad Iqbal
Mahasiswa Aktif Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor : Nimas Ayu Sholehah