Beberapa waktu lalu seluruh dunia merayakan hari Kebebasan Pers pada tanggal 3 Mei. Namun sepertinya hari tersebut lebih layak dijadikan bahan refleksi ketimbang dirayakan dengan miskin esensi. Pasalnya kebebasan pers di dunia khususnya di Indonesia belum menemukan jati dirinya.
Tidak terkecuali pers mahasiswa, pers yang dikelola oleh mahasiswa ini sangat rentan terkena pembungkaman, represi bahkan pembredelan. Dilansir dari persma.id, selama kurun waktu 2020 – 2021 Perhimpunan Pers Mahasiswa Indnesia (PPMI) Nasional mencatat terdapat 185 kasus pernah dialami oleh pers mahasiswa dari 48 kampus di seluruh Indonesia.
Reporter Pabelan-online.com berkesempatan mewawancarai Adil Al-Hasan selaku Badan Pekerja (BP) Advokasi PPMI Nasional mengenai kasus represi yang dialami pers mahasiswa. Setelah melakukan kesepakatan, akhirnya hari Jumat, 5 Mei 2023 pukul 9 malam kami menanyakan beberapa hal melalui telepon WhatsApp.
Bagaimana kondisi kebebasan pers di Indonesia?
“Sebelum masuk kesana kita harus mendudukkan posisi masing-masing pers. Kita bisa membagi pers menjadi dua, pertama pers umum dan kedua pers mahasiswa. Walaupun keduanya melakukan kerja yang sama namun dari segi legal standing-nya berbeda, pers umum cenderung lebih aman daripada pers mahasiswa. Sebagaimana kajian yang sudah kami lakukan di PPMI, tercatat ada banyak kasus represi yang dilakukan oleh pihak kampus. Bahkan kalau dihitung pada dua Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ada salah satu yang terkena represi. Memang pelaku utama dari aksi represi itu adalah kampus, karena memang isu yang diangkat LPM masih di lingkup kampus, namun ketika LPM mengangkat isu diluar kampus tingat represinya cenderung rendah dan jarang.”
Bagaimana seharusnya sikap kampus dalam mengahadapi berita dari persma?
“Saya rasa bukan pemahaman rektorat atau dosennya yang salah, saya pikir mereka sangat mengetahui tentang fungsi pers. Pada dasarnya mereka tahu bahwa pers itu bersifat independen dan bersih dari segala kepentingan. Namun dalam hal ini, pers mahasiswa masih dilihat sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang diatur oleh kampus, maka ketika cara kerjanya berbeda dengan apa yang diinginkan kampus, mereka akan menegurnya. Dalam hal ini perspektif kampus masih bias terhadap persma, maka dari itu yang bisa kita lakukan adalah mendorong pemahaman kampus bahwa persma bukan sekadar UKM, akan tetapi merupakan pers sebagaimana pers lainnya.”
Kenapa persma rawan direpresi?
“Selain karena belum ada payung hukum, ya karena perspektif kampus yang bias tadi sehingga kampus semena-mena dalam merespon persma yang dianggap UKM tersebut.”
Melihat maraknya aksi represi, bagaimana anda memandang urgensi payung hukum bagi persma?
“Kalau pers mahasiswa bersengketa, selama ini penyelesaiannya tidak dilakukan dengan mekanisme pers. Mekanisme yang dilakukan saat ini masih diluar pers seperti takedown dan pemanggilan. Berbeda dengan pers umum yang diselesaikan dengan mekanisme pers. Karena kerentanan itu maka payung hukum ini menjadi penting, apalagi dengan adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) nantinya. Saya menggambarkan bahwa persma ini dihujani represi, akan tetapi tidak punya tempat untuk berlindung. Maka, untuk meminimalisir aksi tersebut payung hukum persma harus segera di realisasikan.”
Bagaimana Upaya merealisasikan payung hukum tersebut?
“Kalau memang persma mau diakui dalam undang-undang itu memerlukan waktu yang lama. Harus masuk program legislasi nasional (prolegnas) dan nantinya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Langkah awal yang bisa kita lakukan adalah mendorong dewan pers selaku lembaga negara untuk memahamkan pada perguruan tinggi terkait posisi persma yang sama dengan pers pada umumnya. Selain itu kita membuat pembahasan di kongres nantinya.”
Seberapa besar peran payung hukum tersebut?
“Saya ibaratkan ketika hujan, ketika kamu punya payung walaupun sepatumu basah, bajumu basah setidaknya kamu tidak basah kuyup karena hujan. Begitu pula dengan payung hukum, bagaimana agar kejadian represi tersebut bisa di minimalisir.”
Sejauh ini ada berapa kasus pembungkaman atau pembredelan?
“Sejauh ini kasus yang masih dikawal di nasional adalah kasus di LPM Lintas. Di kepengurusan saya kasus besar hanya di LPM Lintas yang mereka harus melakukan banding yang pada akhirnya tetap kalah. Adapun kasus-kasus lain seperti Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Surabaya itu bisa diselesaikan di kota. Beberapa kasus lain juga terselesaikan di LPM tersebut atau hanya sampai dewan kota.”
Bagaimana sikap kita untuk membantu teman-teman LPM lain yang terkena represi?
“Sejauh ini yang bisa dilakukan adalah aksi solidaritas dari LPM lain. Kita bisa ikut mengangkat isu yang ada kemudian memberitakannya di media. Kalau ada yang rilis kita ikut rilis sebagai bentuk solidaraitas, Itu memang harus dilakukan dan itu menurut saya masih relevan untuk saat ini.”
Bagaimana upaya yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi aksi represi tersebut?
“Yang perlu dipahami kawan-kawan persma adalah mitigasi risiko. Dalam hal ini ada yang namanya keamanan holistik yang mencakup tiga hal yakni fisik, psyco-sosial dan digital. Sejauh ini beberapa hal itu yang sangat penting untuk diketahui, persma harus mengerti tentang risiko dari apa yang dikerjakan. Semisal kita saat liputan aksi, kita harus paham betul bagaimana menghindari aksi represi tersebut. Selain itu, penting juga untuk memahami kode etik karena nantinya kode etik akan menyelamatkan kita ketika sebuah berita itu bersengketa.”
Menurut anda bagaimana mewujudkan kebebasan pers itu?
“Mungkin kalau kita mendambakan kebebasan dan juga keharmonisan itu sangat utopis, dan memang saya akui itu memang utopis. Sejauh ini yang bisa kita lakukan untuk menciptakan itu adalah dengan melakukan edukasi kepada pelaku yang dalam hal ini adalah kampus. Selain itu kita juga memberikan edukasi kepada anggota terkait hal-hal yang diperlukan tadi seperti mitigasi dan juga pemahaman mengenai kode etik jurnalistik.”
Reporter: Muhammad Iqbal
Editor: Muhklis Sirotul Munir