Baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur (QS: Saba’:15). Sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya. Ayat tersebut diambil dari kisah nyata pada sebuah kerajaan yang disebut Negeri Syam yang hingga saat ini namanya diabadikan menjadi nama surah dalam Al Qur’an, yakni surah ke-33. Hal ini tentu dapat menjadikan pelajaran kepada seluruh umat manusia terkhusus umat muslim yang menginginkan sebuah negara dengan roda kepemimpinan yang seimbang tanpa adanya masyarakat yang merasa dirugikan ataupun diterlantarkan.
Secara psikologis, masyarakat yang tinggal disebuah negara dengan sistem pemerintahan yang baik tentu akan tinggal dengan merasakan keamanan dan ketentraman. Sebaliknya, jika sebuah negara didalamnya terdapat kecacatan dalam pemerintahannya tentunya masyarakat akan mengeluarkan statement yang dimilikinya dengan melakukan kritikan atas segala perlakuan keji kinerja dari pemimpin yang bertugas menjadi Nakhoda atas sebuah negara.
Sebuah negara juga dibentuk tentunya untuk menciptakan nuansa dimana masyarakat dapat mencita-citakan daripada keinginan pendahulu-pendahulu mereka secara utuh. Negara kita misalnya, hal ini tertuang pada Alinea ke 4 UUD 1945 “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,”.
Namun tak dapat dipungkiri dalam usaha mencita-citakan keadaan yang ideal seperti yang tertuang dalam UUD 1945 tersebut tentu akan mengalami benturan-benturan yang tidak dapat ditebak datangnya. Apalagi yang memimpin sebuah negara tidak memiliki kesadaran masyarakat secara umum (Otoriter) tentu sebuah negara akan jatuh pada keanarkisan.
Sebut saja Negara Wakanda yang akan mengalami peralihan kepemimpinan. karena masyarakat merasa tidak disentuh juga tidak terdengar aspirasinya apalagi tersampaikan, ditambah masyarakat sama sekali tidak mengerti kinerja apa yang telah dilakukan untuk kepentingan masyarakat selama masa kepemimpinannya, tentu secara kondisi psikologis masyarakat akan mempertanyakan hal-hal tersebut yang menjadi bentuk tanggung jawab sebagai ‘Nakhoda’ yang mengendarai pemerintahan selama berlayar satu periode.
Agaknya kita juga perlu mengambil contoh dari sebuah kampus. Ya kampus! Yang isinya kepala-kepala yang sudah didoktrin oleh ilmu pengetahuan. Namun apakah ilmu pengetahuan itu digunakan dan dimanfaatkan dengan sebenar-benarnya? Apakah dengan mengumpulkan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dapat menjadi patokan bahwa seorang mahasiswa itu sudah dapat dikatakan pintar?
Jika pintar, iblis lebih pintar dari manusia. Seorang Nabi pun, iblis mampu menggodanya, apalagi mahasiswa yang merupakan insan biasa yang belum mendapatkan gelar sarjana, dan bukan Nabi. Akal! Ya anda mengerti akal? Akal sebagai penyeimbang dan sebagai pusat kekuasaan pada diri kita.
Seorang filsuf bernama Plato menggambarkan bagaimana konteks sebuah negara yang ideal menurutnya, ialah negara yang dipimpin oleh seorang filosof, mengapa seorang filosof? karena seorang filosoflah yang dapat membawa arti kebijaksanaan.
Plato mendasarkan argumennya seperti ia mempersepsikan bagian tubuh manusia. Didalam bagian tubuh manusia terdapat tiga bagian inti yakni, kepala, dada, dan perut. Jika kita kaitkan dengan konsepsi jiwa, maka akal berada di kepala, kehendak berada di dada, dan nafsu terletak di perut. Jika kita kaitkan lagi berdasarkan sifatnya, akal mencita-citakan kebijaksanaan, kehendak mencita-citakan keberanian, dan nafsu harus dapat dikekang sehingga kesopanan dapat ditegakkan.
Sejatinya perlunya kembali kepada akal. Sejauh mana manusia dapat menggunakan akalnya dengan cita-cita mewujudkan kebijaksanaan dalam hal ini menjadi pemimpin. Jika seorang pemimpin mampu mengonsepsikan bentuk negara seperti ide Plato tentu secara psikologis masyarakat akan merasa aman, nyaman dan tentram dibawah pemerintahannya.
Sebagai seorang mahasiswa tentunya dapat menggunakan akalnya secara ideal, toh mahasiswa merupakan manusia yang cukup dibilang idealis, saking idealisnya hingga lupa yang dikerjakan itu realistis atau pragmatis. Bentuk pemerintahan yang bobrok itu karena kesalahan pemimpinnya bukan kesalahan masyarakatnya.
Mahasiswa sebagai Iron Stock, Mahasiswa sebagai Guardian of Value, Mahasiswa sebagai Agent of Change. Hanya fantasi belaka, seperti seorang pria sedang bermimpi basah pada malam hari.
Bagaimana tidak, nantinya mahasiswa dapat menegakkan keidealan, menegakkan realistis, menegakkan kebenaran tanpa ada campur tangan iblis sebagai penggoda untuk menyesatkan pada jurang kehancuran. Coba renungkan! Akankan perjuangan yang telah lama dilakukan akan hancur begitu saja dengan sia-sia?
Penulis: mahasiswa yang meminta keadilan (disamarkan)
Editor: Aliffia Khoirinnisa