Banyaknya literature mengungkapkan sisi positif dari Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) menyebabkan tidak terlihatnya kebobrokan-kebobrokan program yang dicanangkan oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia (RI).
Program Kampus Mengajar sendiri memang menjadi salah satu solusi dari pemerintah dalam menghadapi perkembangan zaman yang begitu pesat ini. Namun apakah kualitas mahasiswa yang mengikuti program tersebut dapat terjamin? Apalagi dengan seleksi yang tidak ketat dalam proses rekrutmen Kampus Mengajar menyebabkan mahasiswa tidak lebih hanya mengharapkan upah saja?
Jika program tersebut dirumuskan untuk memberikan kebebasan bagi mahasiswa, lantas kebebasan apa yang diberikan? MBKM tidak lebih hanya sekadar untuk mendapatkan konversi mata kuliah atau Sistem Satuan Kredit (SKS).
Jika program tersebut dicanangkan untuk mengasah kemampuan mahasiswa lantas apakah kampus tidak mengajarkan mahasiswa untuk mengasah kemampuan untuk persiapan karier masa depan mahasiswa? Pernyataan-pernyataan penulis tersebut nampaknya bersifat paradoks. Namun cobalah gunakan akal sebagai pisau analisis dalam menghadapi sesuatu dalam konteks dalam hal ini MBKM.
Mengutip pernyataan dari Moh. Hatta, (1984) bahwa kaum intelektual tidak boleh bersikap pasif, menyerahkan segalanya kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan otoritas di sebuah struktur masyarakat. Kaum intelektual merupakan bagian dari masyarakat, warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban.
Kaum intelektual juga mempunyai hak dan kewajiban, yakni wajib ikut berperan serta dalam perbaikan nasib bangsa. Sebagai warga negara yang terpelajar, mereka harus mempunyai kemampuan menguji sebuah kebenaran dengan kemampuan akademisnya. Dalam hal ini tanggung jawabnya adalah intelektual dan moral.
Berdiam diri melihat kesalahan terhadap keruntuhan masyarakat berarti menghianati dasar kemanusian yang seharusnya tertanam pada diri kaum intelektual. Mahasiswa yang sejatinya merupakan kaum intelektual mereka tidak boleh bersikap netral dalam sebuah permasalahan, mahasiswa harus turut mengambil peran didalamnya.
Sebelum membahas lebih jauh, nampaknya perlu kilas balik terlebih dahulu. Masih ingat dengan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Keorganisasian (BKK) NKK dan BKK? Pemberlakuan NKK dan BKK di lingkungan kampus tidak lain untuk mengutuk mahasiswa yang memiliki pemikiran radikal agar tidak lagi mengkritisi pihak oligarki atau penguasa.
Saat ini mahasiswa berusaha diarahkan pada keapatisan, apolitis, skeptis terhadap diskusi, dan berperilaku pragmatis materialis. Hilangnya idealisme mahasiswa disebabkan oleh sistem yang dibuat oleh pemerintah. Usaha-usaha yang diberikan oleh pemerintah kepada diskursus kampus hanya menghilangkan esensi dari kampus itu sendiri, sehingga menyebabkan kedangkalan berpikir mahasiswa.
Kebebasan merupakan sebuah kemampuan untuk melakukan terkait apa saja yang ingin dilakukan ataupun diharapkan kedepannya termasuk potensi diri. Pemberian upah dalam program MBKM hanyalah suatu bentuk dari tawaran atau pemikat kepada mahasiswa supaya tertarik pada program tersebut tak lebih dari itu. Tawaran selanjutnya yakni apabila mahasiswa telah mengikuti kegiatan MBKM, nantinya setelah lulus akan mudah menghadapi dunia pekerjaan.
Kebebasan dalam diri mahasiswa yang sesungguhnya yaitu ketika mahasiswa bebas menyampaikan aspirasinya, bebas mengkritik kebijakan kampus yang menyeleweng. Bukankah menuntut ilmu dalam perguruan tinggi tidak hanya untuk mempersiapkan diri pada masa depan? bukankah begitu?
Cacatnya pada MBKM dapat dilihat pada penyelarasan terhadap perkembangan akademik mahasiswa, seperti mata kuliah yang tidak teratur (sistematis), ketidakpahaman akan mata kuliah yang dikonversi karena tidak mempelajarinya, dan masih banyak kecacatan lainnya jika dikulik satu persatu.
Pemberian upah kepada mahasiswa menyebabkan banyaknya mahasiswa yang mengharapkan dapat terdaftar pada Kampus Merdeka. Namun sebaliknya, mahasiswa tidak melihat dan mempertimbangkan hal-hal yang akan terjadi pada dirinya ketika mengikuti program Kampus Mengajar.
Mahasiswa tidak melihat dampak dibalik itu semua, seperti kelangsungan akademiknya, perkembangan pengetahuan personalnya, pemahaman teori-teori yang dikuasainya dan lainnya.
Program MBKM ini juga sangat berdampak pada tubuh organisasi, salah satunya hilangnya minat mahasiswa terhadap organisasi yang mana hal tersebut disebabkan oleh program MBKM. Mahasiswa memandang organisasi hanya membuang sia-sia waktunya, lebih baik mengikuti program MBKM yang sudah pasti mendapatkan upah.
Memang kebutuhan pada era saat ini sangat utama, terutama cuan (uang) tentu mahasiswa sangat membutuhkan. Akan tetapi, justru jika kita meninjau kembali dalam kajian sosiologi yang paling mendasar yakni manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia membutuhkan manusia lainnya untuk dapat bertahan hidup maupun berinteraksi.
Jika mahasiswa menganggap organisasi tidak penting lantas akankah program MBKM dapat memberikan suatu kelebihan dalam kelangsungan hidup mahasiswa dimasa depan?
Organisasi pada tataran kampus merupakan tempat mahasiswa mencari bakatnya secara utuh dan dalam. Jika organisasi saja tergeruskan oleh program-program pemerintah yang bertolak belakang dengan organisasi, lantas akan seperti apa nasib mahasiswa kedepannya?
Seharusnya melihat hal tersebut, pemerintah dapat mempertimbangkan atas kebijakan-kebijakan yang telah diambil sebelum diputuskan agar kebijakan tersebut tidak hanya untuk menjawab tantangan zaman. Akan tetapi jauh daripada itu, kebijakan tersebut juga dapat memberikan keadilan atas kehidupan mahasiswa pada tataran kampus.
Penulis: Rifqi Almuiz
Mahasiswa Aktif Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor: Aliffia Khoirinnisa