Di zaman yang semakin maju saat ini, tentu banyak tantangan dan persoalan yang harus dihadapi tak terkecuali bagi kalangan sejumlah mahasiswa. Tantangan dan persoalan zaman modern tersebut beberapa dapat membawa kepada hal yang positif seperti, membentuk pribadi yang kritis dan intelektual, disisi lain kerap membawa mahasiswa kepada penyimpangan seperti kriminalitas dan semacamnya.
Seperti melihat contoh kasus yang dilansir dari rakyatsulsel, dimana terdapat satu mahasiswa senior Universitas Muhammadiyah Makassar melakukan tindakan pengkroyokan kepada dua mahasiswa junior.
Reporter Pabelan-online.com berkesempatan mewawancarai Afriza Animawan Arifin, salah satu Dosen Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), perihal tindakan moratilitas dan kriminalitas yang terjadi pada kalangan mahasiswa pada, Kamis, 1 Juni 2023.
Apakah kriminalitas mahasiswa saat ini bisa dikatakan marak terjadi?
“Kalau dikatakan sedang marak itu tentatif, artinya kita perlu melihat dari sudut pandang mana. Mungkin nanti bisa diketahui melalui data statistik seperti, mana mahasiswa yang melakukan kerusuhan, mana yang berprestasi, dan mana yang biasa-biasa saja, hal tersebut banyak yang mana.
Kalau saya menyakini hal tersebut masih dalam kurva yang normal, artinya masih dapat dikatakan biasa-biasa saja. Dimana, yang tidak rusuh dan berprestasi itu lebih banyak, daripada yang rusuh dan sebagainya. Jadi tidak bisa dibilang marak karena tidak dominan.”
Apakah kriminalitas menandakan adanya degredasi moralitas pada mahasiswa dan faktor apa yang melatarbelakangi?
“Mahasiswa ini berada dalam kisaran rata-rata usia remaja akhir dan memasuki dewasa awal, sehingga merupakan sebuah fase-fase transisi. Ketika remaja yang tadinya mereka berada kisaran diusia mungkin 15, 16, 17 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), tugas perkembangan mereka sebagai manusia sedang berada dalam tahap pencarian jati diri.
Jika dalam fase-fase tersebut tidak terpenuhi atau tidak tuntas dalam hal psikologis, biasanya fase tersebut menjadi mundur, artinya tugas perkembangan yang seharusnya dapat diselesaikan pada fase tersebut menjadi mundur.
Ketika itu mundur tentu saja akan ada akibatnya, salah satu dampaknya dimana fase-fase remaja yang tadinya itu kisaran usia 15, 16, 17 sudah terpenuhi, akan tetapi hingga menduduki bangku kuliah masih tinggi mereka akan terus melakukan pencarian jati diri dan pengakuan orang lain.
Dalam fase-fase remaja, seseorang lebih percaya terhadap teman sebayanya dibandingkan pada orang tuanya, gurunya, dan dosennya.
Sehingga, perlunya mahasiswa pintar-pintar dalam bergaul atau memilih teman, karena nantinya akan berdampak pada perilaku pada mahasiswa itu sendiri. Karena di usia-usia remaja akhir atau dewasa awal seseorang sangat tergantungan dengan teman sebayannya. Jadi, apa yang dikatakan oleh temannya itu lebih dipercaya daripada dosennya.
Contohnya, pada kisaran usia remaja kalau curhat bukan ke orangtua melainkan ke teman. Jadi faktor teman sangat berpengaruh, jika diruntut lebih panjang kebelakang lagi, jelas faktor didikan orangtua itu yang paling utama di awal. Jadi untuk di fase-fase ini salah satu yang mempengaruhi adalah faktor pertemanan.”
Bagaimana pengaruh lingkungan itu membetuk karakter mahasiswa?
“Salah satu faktor lingkungan yaitu teman, social learning bagaimana ia belajar dari lingkungan sosialnya, misalnya ketika kakak angkatannya itu senioritasnya tinggi dia akan menurun kepada adik kelasnya, seperti yang terjadi di beberapa kampus yang senioritasnya masih sangat kental.
Kemudian, dimana fase-fase dewasa awal dengan usia 22 tahun ketika lulus Strata Satu (S1), fase-fase individu ini mulai mendapatkan tugas perkembangan yang baru, dia butuh yang namanya intimate love dimana ia membutuhkan yang namanya rasa cinta di usia tersebut.
Akan tetapi jika hal tersebut disalah artikan dan tidak tertampung dengan baik yang pada akhirnya terjadi hal semacam pemerkosaan dan sebagainya.”
Bagimana Anda melihat tantangan mahasiswa di zaman yang berkemajuan dan pengaruh sosial media saat ini?
“Melihat zaman sekarang yang semakin maju, internet, sosial media dan sebagainya yang sangat mudah sekali untuk diakases. Sosial media sangat bepengaruh terhadap perilaku mahasiswa, karena ini merupakan teori daripada role modelling artinya mahasiswa zaman sekarang banyak yang lebih mudah iri, karena hal tersebut dipengaruhi dengan handphone (hp). Mereka dengan sekali klik bisa mengetahui beragam hal yang menggiurkan di sosial media.
Akan tetapi, jika tidak bisa disikapi dengan bijak akan menimbulkan behavior yang buruk misalnya, dengan kita melihat di hp kita sekarang ini seperti standar kecantikan yang ada dengan melihat sosial media (Sosmed), maka hal tersebut menimbulkan suatu batasan lingkungan.
Terlebih, banyak hal tersebut dijadikan sebagai labeling social, artinya seperti contoh, jika pakaian seseorang tersebut belum seperti yang dimedia sosial berarti mereka belum bisa diterima.
Juga dalam sosial media terdapat suatu penyakit, yaitu tentang likes. Dimana jumlah likes ini menurut studi juga sangat mempengaruhi perilaku seseorang, bahkan mempengaruhi jati diri mereka.
Seperti, jika terdapat seorang mahasiswi yang dikampus mengenakan kerudung, kemudian berperilaku santun akan tetapi, disuatu waktu ia posting foto yang tidak berhijab, ternyata likes-nya dua kali lipat daripada ia berhijab.
Disitu muncul yang namanya konsep reward and punishment dimana dia mendapat sesuatu yang hal yang menyenangkan. Karena postingan tanpa hijab banyak lebih banyak disukai, maka mereka akan nyaman, dan akan melakukan hal semacam itu.”
Peran atau langkah semacam apa yang perlu diambil mahasiswa saat kini untuk menghadapi tantangan zaman?
“Kita mencegah perkembangan zaman, kita berhenti main internet, berhenti untuk posting atau tidak melihat postingan teman di zaman sekarang hampir tidak mungkin karena sekarang akses internet ada dimana-mana seperti, wifi, kuota di semua tempat sudah ada. Sehingga kita tidak bisa mencegah hal tersebut.
Namun, dari diri kita sendiri bisa lebih selektif untuk memilah mana yang lebih baik untuk dikonsumsi dan tidak. Bahkan ketika di sosmed itu ada story-story yang mungkin sebagian orang menganggap hal yang membuat iri atau agresivitasnya meningkat, maka kita bisa menggunakan fitur mute yang disediakan supaya tidak menggangu psikologisnya, hal tersebut tidak masalah untuk dilakukan.”
Bagaimana Anda memandang hal tersebut dalam faktor psikologis atau kesehatan mental?
Tentang mental health, seseorang disebut sehat secara mental itu ketika ia mampu untuk berkontribusi untuk sekitarnya melalui komunitasnya.
Maksudnya, disini kreativitas-kreativitas mahasiswa, seperti yang sudah saya bilang, bahwa pada usia-usia remaja akhir ini merupakan suatu fase pencarian jati diri, dia mencoba mencari siapa dirinya, mau kemana arahnya, dan mau apa.
Bahkan jika mahasiswa jika sudah mengambil jurusan pun juga perlu spesifikasi yang lebih dalam lagi. Disitulah ada peran kampus dengan mewadahi mahasiswa seperti, menggunakan fasilitas-fasilitas, kegiatan-kegiatan.
Harapannya adalah skill mahasiswa dapat tertampung serta terwadahi dan yang paling penting dapat teraktualisasi, sehingga membuat dia sehat mental.”
Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk fenomena ini kedepannya?
“Dari saya pribadi perlu diupayakan bukan hanya dari sisi mahasiswa, dosen, maupun orangtua, tapi hal ini harus sinergritas atau dilakukan secara bersama supaya mahasiswa ini bisa berkembang.
Seperti konsep tiga hal ini yaitu, knowledge, atitude dan practice. Dimana knowledge Itu adalah bagaimana cara dia berfikir, mengkritik secara kritis tapi logis.
Kemudian atitude bagaimana ia menyikapi, memandang sesuatu itu juga sesuatu yang penting serta dilatih. Kemudian practice atau perilakunya, tindakannya, bagaimana aksi nyata yang baik dan diterima masyarakat sehingga hal itu sangat penting knowledge, atitude and practice.”
Reporter: Nimas Ayu Sholehah
Editor: Shafy Garneta Maheswari