Siapa lagi yang bisa menciptakan ruang aman dan ruang setara jika tidak dimulai dari diri kita? Sebagai mahasiswa yang seringkali dipandang sebagai insan cendekia, sudah seharusnya menjadi cita-cita kita untuk menciptakan ruang bebas berkreasi, berekspresi, dan ruang belajar tanpa adanya sistem patriaki. Sebagai laki-laki baru yang mendobrak pemahaman budaya patriarki tentu tidaklah mudah, karena harus bisa mengokohkan diri ditengah toxic maskulinity yang semakin menjadi-jadi.
Ya, mengadakan diskusi tentang kesetaraan dan keadilan gender bukanlah hal mudah dan belum banyak dilakukan.
Bahkan kerap kali tempat tongkrongan menjadi tempat yang melanggengkan budaya patriarki. Kenapa begitu? karena dalam sebuah tongkrongan, terkadang mereka membicarakan sebuah hal yang mengandung unsur pelecehan, bahkan pendeskriditan terutama dalam hal gender ini.
Beberapa waktu lalu saya mengikut teman saya yang nongkrong di salah satu kafe, ternyata pembahasan akan hal itu dianggap lumrah, bahkan bagi saya tongkrongan ini terlalu toxic. Masalah ranjang, masalah pacar, mengomentari body orang, melakukan pendeskriditan terhadap orang yang menurut mereka tidak sempurna, menjadi hal biasa bahkan diangggap sebagai guyonan. Sedikit saya coba tegur dengan perlahan, namun saya malah dianggap sebagai orang yang ‘baperan’ (terlalu membawa perasaan – Red).
Sebenarnya persoalan ini tidak layak dijadikan sebagai bahan guyonan. Apalagi menyerang tubuh dan harkat martabat seseorang sebagai manusia. Yang harus kita lakukan adalah menciptakan tempat yang aman, khususnya bagi perempuan, agar tidak lagi merasa bersalah mengenai pakaian dan badannya.
Coba kita pikir, akibat stigma masyarakat yang mengharuskan perempuan serba sempurna membuat mereka (perempuan – Red) seakan tidak bisa bebas merdeka. Dalam konteks hubungan gender, modernisasi tercermin dari perluasan hak perempuan sebagai manusia merdeka dan kesamaan hak yang dimiliki dalam berbagai aspek kehidupan domestik dan publik, termasuk hak politik, hak pendidikan, hak memperoleh pekerjaan, hak kesehatan reproduksi, dan lain sebagainya.
Stereotipe maskulinitas dan feminimitas mencakup berbagai aspek karakteristik individu, seperti karakter atau kepribadian, perilaku, peranan, okupasi, penampakan fisik, ataupun orientasi seksualnya. Jadi misalnya, laki-laki dicirikan oleh watak yang terbuka, kasar, agresif, dan rasional.
Sementara perempuan bercirikan tertutup, halus, afektif, dan emosional. Dalam hubungan individu laki-laki diakui maskulinitasnya jika terlayani oleh perempuan, sementara perempuan terpuaskan feminitasnya jika dapat melayani laki-laki.
Kekerasan secara tradisional juga menjadi stereotipe laki-laki. Kata masculine sendiri dekat dengan kata mascle (otot) yang dapat segera diasosiasikan dengan kekuatan, keperkasaan, kepahlawanan, kekerasan.
Bahkan standar yang dibuat oleh para kapitalisme membuat pola pikir laki-laki mencerminkan idealnya sosok perempuan harus tinggi, putih, dan bersih. Hadirnya produk kecantikan yang mengatasnamakan kebebasan yang diinginkan seorang perempuan di ruang publik agar terlihat cantik dan enak di pandang.
Kapitalisme bermimikri seolah ia hadir membantu perempuan untuk memperoleh otoritas tubuh sebagaimana yang terjadi di iklan TV dan pandang laki-laki.
Apakah itu kebebasan dan ruang aman agar tidak menjadi bahan gunjingan? tentu tidak.
Hal itu merupakan kebebasan palsu para perempuan tubuh mereka terbelenggu dalam wacana kebebasan kapitalisme dan pandangan laki-laki. Hal tersebut sebenarnya mendorong para perempuan untuk saling menjatuhkan, sehingga ruang aman hanya untuk mereka yang standar kecantikan telah dibuat oleh sistem patriaki dan kapitalisme.
Namun, apakah semua laki-laki mesti sesuai dengan stereotipe maskulinitas yang ada dan menjadikan perempuan sebagai objek seksual saja ? Apakah laki-laki adalah makhluk berhati dingin yang tidak bisa menangis? Apakah laki-laki hanya pelaku dan tidak bisa menjadi penyintas kekerasan dan pelecehan seksual? tentu tidak.
Laki-laki bisa menciptakan ruang aman tanpa harus mengikuti gerakan feminisme. Dengan peduli tentang penindasan, kamu sudah bagian dari memperjuangkan keadilan. Laki-laki juga bisa bergerak bersama perempuan untuk menciptakan keamanan dan ruang setara bahkan laki-laki dibutuhkan dalam melakukan kerja-kerja advokasi dan kerja-kerja kolektif demi tercapainya kesetaraan gender. Hadirnya laki-laki baru dalam merangkul kesetaraan harus menjadi ruang bagi seluruh insan di muka bumi.
Lantas bagaimana kita mesti memandang dan menyikapi hal tersebut? Apakah kita akan tunduk pada toxic masculinity dan menikmati budaya patriarki atau kita memilih untuk bergerak dan melawannya?
Tentu kita sebagai insan terdidik harus menjadi bagian sejarah dalam melakukan perlawanan itu. Hal ini sangat membutuhkan kehadiran laki- laki dalam menjadi sekutu gerakan kesetaraan bersama perempuan.
Dengan demikian, maka akan menghasilkan kesepakatan yang tidak bias gender, tergantung bagaimana kamu memahami konteks yang akan kita lakukan bersama. Bahkan hidup yang tidak pernah dipertaruhkan maka tidak akan pernah dimenangkan, jadilah bagian dari sejarah perubahan.
Penulis : Abdur Rahman Wahid
Mahasiswa Fakultas Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
Editor: Aliffia Khoirinnisa