Tragedi pelecehan seksual di ranah kampus yang dilakukan baik secara vertikal (dosen ke mahasiswa) maupun horizontal (antarmahasiswa), sebenarnya bukan hal baru di negeri ini. Catatan jejak kasus pelecehan seksual di area kampus, jika diruntut yaitu, mulai dari berita tentang tindakan perkosaan sekaligus pelecehan terhadap seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) kala melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Maluku pada tahun 2017.
Namun, melansir dari Balairung Press, berita ini baru terungkap di akhir 2018 hingga awal 2019 dan berhasil menggemparkan jagad bumi pertiwi. Berlanjut di tahun 2018, telah terjadi pelecehan seksual oleh oknum dosen Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara terhadap mahasiswanya yang bernama samaran Diana (dilansir dari Jakarta Post, Tirto.id, dan Vice Indonesia). Selanjutnya di tahun 2019, ditemukan sebuah fakta tentang ‘Dosen Predator’ di Fakultas Psikologi dan Fakultas Humaniora Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (dilansir dari Jakarta Post, Tirto.id, dan Vice Indonesia).
Kemudian di pertengahan tahun 2020 seorang oknum dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram di-skorsing selama lima tahun dan dicopot jabatannya, karena melecehkan mahasiswanya ketika bimbingan skripsi (dilansir dari tribunnews). Terakhir yang sedang hangat di tahun 2023 ini adalah seruan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM) Jenderal Soedirman tentang dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh pejabat kampus (dilansir dari detik.com).
Sebagian orang mungkin akan kaget dengan fakta-fakta di atas. Namun, sebagian yang tersisa mungkin malah memandangnya sebagai hal yang biasa-biasa saja (maksudnya biasa terjadi di Indonesia, eh).
Mari berandai-andai seperti ini: bagaimana jika kasus yang sebenarnya terjadi jauh lebih banyak dari kasus yang berhasil ditemui? Mengingat kasus yang tersembunyi sering kali lebih banyak daripada yang terungkap. Fakta ‘mengerikan’ ini masih belum terlalu mengerikan jika dibandingkan dengan fakta tentang nasib dari sang korban pelecehan. Bagaimanakah nasib korban-korban pelecehan itu? Berhasil menemui keadilankah?
Nasib Perempuan Menjadi Korban Sekaligus Disudutkan: Enggan Melawan atau Gegara Pakaian yang ‘Buka-Bukaan’?
Peribahasa yang dapat mewakili nasib perempuan korban pelecehan seksual di area kampus dan lainnya adalah ‘sudah jatuh, tertimpa tangga’. Perempuan sebagai korban yang sudah seyogianya mendapatkan jaminan perlindungan, kenyataannya justru disudutkan karena dianggap menggunakan pakaian yang memicu nafsu setan atau karena enggan melakukan perlawanan. Stigma-stigma seperti ini agaknya memang telah mendarah daging sejak dulu, sebab pemahaman tentang Hawa yang menjadi penyebab Adam diusir dari surga.
Hasilnya, perempuan kerapkali dipandang sebagai asal muasal godaan dan cocok dijadikan kambing hitam saat lelaki terjerumus ke dalam lembah kekeliruan. Hal ini dialami salah satu korban pelecehan dari FISIP Universitas Sumatera Utara, Diana (bukan nama sebenarnya). Diana sebagai korban pelecehan, justru disalahkan oleh Kepala Prodi (Kaprodi)nya karena mau-mau saja saat diajak oknum dosen yang diberi nama samaran Sisipus saat meninjau lokasi penelitian.
Sikap Kaprodi ini sungguh sangat disayangkan, sebab tentu saja Diana mau karena dunia yang sedang dijalaninya adalah dunia pendidikan, bukan dunia gitu-gituan. Ditambah lagi saat tragedi pelecehan, Diana sedang berada dalam posisi dilematis; antara melawan dan ketakutan akan mendapatkan ancaman.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak semua dosen menjunjung tinggi asas objektivitas dalam pemberian nilai. Tentu saja, sedikit dan banyak ‘Diana’ diluar sana yang mengkhawatirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk itu.
Rasa khawatir jika Diana melakukan perlawanan, maka Sisipus akan balas dendam dengan kekuasaannya sebagai dosen.
Sementara di sisi lain, pihak kampus sendiri juga ‘diragukan’ akan memberikan jaminan perlindungan kepada korban pelecehan seksual. Sialnya, kekhawatiran ini justru terjadi. Laporan Diana ke pihak Jurusan belum ada kepastian yang jelas dan Diana mendapatkan ‘respons yang melukai hati’ dari Kaprodi seperti yang telah disebutkan di atas.
Selain dalih enggan melakukan perlawanan, korban pelecahan juga biasa disudutkan dengan dalih penggunaan pakaian yang terlalu buka-bukaan. Dalih seperti ini adalah dalih yang paling kekanak-kanakan. Ibarat seorang anak kecil yang tidak kuat melanjutkan puasa karena tergoda dengan kesegaran es buah yang dijual di depan rumah. Lantas anak kecil itu mengambing hitamkan es buah yang segar itu karena telah menggoda keimanannya untuk membatalkan puasa, sungguh parodi sekali.
Sebenarnya, yang perlu disalahkan itu es buah atau keteguhan iman? pakaian pendek atau lirikan mata? lekuk tubuh wanita atau otak yang terlalu mesum? Jika memang masih saja ada yang ngeyel bahwa tindak laku pelecehan terjadi bukan hanya karena niat tetapi, juga karena ada kesempatan, maka jawabannya pun masih tetap sama, bahwa setiap manusia diberikan kesempatan untuk memilih. Memilih untuk memanfaatkan kesempatan atau meninggalkannya.
Pada dasarnya, tulisan ini tercipta untuk memberikan pertanyaan mendasar ‘Mengapa perempuan sebagai korban kerap kali disudutkan dengan dalih-dalih kelemahan? Mengapa dalih-dalih kelemahan itu tidak balik ditujukan kepada pelaku? Misalnya, mengapa pelaku memanfaatkan kekuasaan sebagai alat penindasan? Mengapa pelaku memanfaatkan jabatan untuk tindak pelecehan? Mengapa pelaku melakukan hal yang sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang pendidik? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang lain yang entah kapan akan ditemui jawabannya.
Penulis: Akhmad Idris
Dosen Aktif Program Studi Bahasa Indonesia Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra (STIBA) Satya Widya Surabaya
Editor: Sarah Dwi Ardiningrum