UMS, pabelan-online.com – Indonesia kerap mendapat julukan Negara Kepulauan yang didalamnya terdapat keberagaman budaya, suku, bahasa, dan agama. Tentunya hal ini menjadi sebuah tantangan bagi seluruh elemen masyarakat untuk menjalin toleransi dengan keberagaman yang ada. Menjalin toleransi juga sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan terlebih di dunia kampus.
Toleransi beragama sendiri ialah sikap saling menghormati dan menghargai antara penganut agama lain. Karena dengan sikap saling menghormati dan menghargai kita dapat menghindari perpecahan antar umat beragama.
Sebagai instansi pendidikan, kampus telah menjadi salah satu tempat berinteraksi warga yang memiliki perbedaan agama. Dengan latar belakang agama yang berbeda mereka harus mengedepankan sikap toleransi yang tinggi.
Mengenai hal tersebut tim pabelan-online.com mencoba membahas persoalan toleransi antar umat beragama di kalangan mahasiswa yang memutuskan untuk berkuliah dalam lingkup kampus yang berbeda agama dengan agama yang dianutnya.
Reporter pabelan-online.com mendapat kesempatan untuk berbincang secara daring dengan Sabila, yaitu salah seorang Mahasiswa Universitas Sanata Dharma. Ia menjelaskan awal mula keputusannya untuk berkuliah di Yayasan Kristen katolik Sanata Dharma dimana lingkup kampus tersebut berbeda dengan ajaran agama dan keyakinannya (Agama Islam – Red).
Menurutnya akreditasi kampus tersebut bagus. Di sisi lain bukan hal baru untuk Sabila menjalin kondisi pertemanan dengan latar belakang agama yang berbeda, pasalnya sejak menginjak Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) ia sekolah di sebuah Yayasan Nasrani Tarakanita.
“Itu kenapa aku memilih yayasan kristen katolik, sebenarnya ikut kakak. Cuman kalau kuliah yayasan waktu sekolah dulu (SMP-SMA – Red) lanjutnya ke Sanata Dharma akhirnya memutuskan untuk lanjut,” ungkapnya, Rabu (21/6/2023).
Ia menambahkan, bahwa yang menjadi pertimbangan untuk melanjutkan kuliah di kampus katolik karena bagi Sabila yayasan tersebut telah melakukan praktik toleransi beragama yang tinggi.
Hal itu dibuktikan dengan praktik berdoa yang dilakukan secara umum tidak mengarah pada doa salah satu agama saja. Mahasiswi yang beragama islam juga diberikan keleluasaan untuk menggunakan hijab. Alasan lainnya adalah dukungan oleh orang tua untuk melanjutkan studi di kampus tersebut.
“Orang tua juga terbuka, meskipun sekolah di tempat yang berbeda agama akan tetapi bukan serta merta kita mengikuti ajaran agama mereka, selama kita bisa teguh pendirian, hal tersebut tidak menjadi sebuah masalah,” tuturnya.
Bagi Sabila menjadi bagian minoritas di lingkup kampusnya bukan suatu masalah. Justru dengan mengenal dan menjalin pertemanan dari latarbelakang agama yang berbeda, Sabila bisa lebih memahami dan mengerti perbedaan masing-masing agama.
Baginya hal tersebut menjadikan dirinya bisa menghargai pendapat temannya soal agama tanpa harus merasa keyakinannya yang paling benar.
Pada kesempatan yang berbeda Natalia salah seorang Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) turut membagikan pengalamannya. Alasan Natalia memilih untuk berkuliah di kampus yang berbeda agama adalah karena kala itu UMS menjadi universitas pertama yang menyatakan dirinya lolos, lalu setelahnya ia mencari tahu Natalia baru mengetahui bahwa kampus tersebut notabenya kampus berbasis agama Islam yang berbeda dengan agamanya (Kristen – Red).
Dengan keteguhan dirinya, Natalia memutuskan tetap melanjutkan studinya di UMS karena menurutnya UMS sudah menyatakan dirinya lolos, terlebih Program Studi (Prodi) yang dia minati ada di UMS. Orang tua Natalia juga memberikan kebebasan untuk melanjutkan atau tidak.
“Menunggu seleksi kampus lain masih abu-abu jadi, tetap OK di UMS. Toh juga tujuan utamanya adalah belajar pada Prodi yang dipilih,” jelasnya, Minggu (9/7/2023)
Dengan keragaman agama yang ada di Indonesia, Natalia sudah mengetahui bahwa dirinya akan menghadapi kondisi dimana ia harus menghargai keberagaman. Walaupun menjadi minoritas, ia masih bisa menyesuaikan diri dengan baik walaupun pada masa-masa awal perkuliahan Natalia harus melakukan konfimasi keberbagai pihak kampus guna kepentingan aspek mata kuliah berbasis agama Islam.
Pada masa awal perkuliahan teman-teman Natalia sempat merasa terkejut lantaran mereka mempunyai teman yang berbeda agama. Meski teman-teman Natalia juga sangat memahami perbedaan yang ada oleh karenanya mereka (teman Natalia – Red) turut memberi petunjuk terkait konfirmasi mata kuliah keislaman. Di sisi lain dosen terkait langsung memberikan tugas lain sebagai pengganti serta link akses bagi mahasiswa non-muslim.
“Banyak mendapatkan sharing-sharing informasi terkait mata-mata kuliah yang harus perlu konfirmasi dan respon dosen juga baik memberi tugas lain dan link akses bagi non-muslim, dari situ dapat hal-hal baru, dosen juga memberi kelonggaran semisal ada kegiatan rohani bisa diizinkan keluar dari kelas atau mau menetap,” ungkapnya.
Adapun terkait aturan Natalia berusaha menyesuaikan diri seperti dari cara berpakaian yang ia kenakan tidak terlalu ketat, meskipun ia masih belajar melakukan penyesuaian terkait cara berpakaian supaya berpakaian yang tidak terlalu bebas.
Nasya yang sama dengan Sabila menempuh kuliah di Sanata Dharma turut membagikan alasan dirinya berkuliah di kampus tersebut. Ia menjelaskan bahwa semenjak SMA dirinya sudah merencanakan kuliah di kampus tersebut, ditambah juga banyak omongan masuk ke telinga Nasya terkait pendidikan Sastra Inggris di kampus tersebut bagus, kebetulan Sastra Inggris Prodi yang diinginkan Nasya.
“Selain omongan-omongan orang, karena kebetulan aku belum siap berhijab, dan setauku kampus swasta islam lain mewajibkan mahasiswinya untuk memakai kerudung, karena belum siap menjadi pertimbangan kuliah di Sanata Dharma,” ungkapnya, Jumat (14/7/2023).
Berbeda dengan Sabila, Orang tua Nasya tidak serta merta mengizinkan anaknya berkuliah di kampus dengan agama yang berbeda. Alasannya adalah ada kemungkinan kegiatan kerohanian di kampus tersebut mempengaruhi keimanan Nasya.
“Beberapa kali sempat observasi yang dilakukan mereka (orang tua – Red) seperti tanya ke saudara bagaimana sekolah di Sanata Dharma, kebetulan saudara pernah ada yang kuliah di Sanata Dharma. Orang tua akhirnya membolehkan, dengan catatan jangan terpengaruh terutama iman,” tuturnya.
Arti Sebuah Toleransi
Meski berada di lingkup kampus yang berbeda dengan keyakinannya, Sabila merasa aman dan tidak mendapat perlakuan diskriminasi dalam berinteraksi dengan teman-teman di kampusnya. Ia juga mempunyai lingkaran pertemanan yang berbeda agama seperti Hindu, Kristen, Katolik, Budha dan Islam. Menurutnya hal tersebut bisa lebih menjadi ajang untuk saling menghargai terutama dalam masalah ibadah.
“Toleransi sendiri menurutku adalah perbuatan saling menghormati, menghargai pendapat, tidak merasa agama islam paling benar dan tidak memaksa mereka yang beda agama untuk harus memahami bagaimana agama kita,” jelasnya.
Senada dengan hal tersebut, Natalia mengungkapkan bahwa tidak seharusnya kampus melakukan pemaksaan dalam beragama. Seperti pemaksaan jajaran kampus untuk mengikuti mata kuliah keislaman yang ada.
“Toleransi sendiri bagaimana suatu cara pandang kita, meskipun kita dari latar belakang yang berbeda-beda tetapi tujuan yang diinginkan sama dan harus bisa bersikap menghormati sesama teman yang beda agama,” ungkapnya.
Begitu juga dengan Nasya, menurutnya toleransi adalah disaat orang-orang bisa mengerti dan sadar akan selalu adanya perbedaan yang mana hal itu tidak bisa disatukan.
“Perbedaan yang ada tersebut seharusnya di embrace ( dirangkul – Red) dan dihormati, bukan dipaksakan untuk disatukan atau dikesampingkan,” terangnya.
Jangan Takut Memilih Sekolah Berbeda Agama
Berada dalam lingkup kampus yang berbeda bukan menjadi halangan bagi Natalia untuk terus menempuh pendidikan. Meskipun pada fase awal perkuliahan dirinya merasa takut, tapi dengan melakukan konfirmasi dan terbuka akan adanya perbedaan agama yang dia anut pihak kampus bisa memahaminya. Menurutnya belajar itu bisa dimana saja, tidak terkecuali kampus yang berbeda agama.
“Jangan takut walaupun kita minoritas, tapi yang terpenting adalah bagaimana cara berkomunikasi, pertemanan, toh nanti kalau kalian terbuka dengan teman ataupun dosen akan menunjukkan apa yang harus dilakukan bagi teman-teman yang berbeda agama tersebut, jadi ga usah takut tetap pada tujuan kalian untuk menuntut ilmu dan belajar,” tegasnya.
Di sisi lain Nasya memiliki pandangan yang sama dengan Natalia untuk tidak takut memilih pendidikan di lingkup kampus yang berbeda agama. Baginya tidak perlu berlebihan dalam memandang pendidikan di lingkungan yang agamanya berbeda, karena menurutnya di zaman sekarang orang-orang sudah memahami toleransi dengan baik sehingga tindakan diskriminasi bisa dibilang jarang terjadi.
“Itu udah jarang banget (diskriminasi agama – Red) jadi berani aja dan embrace segala perbedaan yang kalian pegang, tetap berpegang keyakinan dan hidup damai dengan yang lain,” jelasnya.
Reporter: Shafy Garneta Maheswari
Editor: Muhammad Iqbal