Sore itu langit memberikan kehangatannya ke seluruh penjuru kota. Desiran angin lembut membuat rambut panjangku ikut tertiup angin, terkadang beberapa helai menutupi wajahku. Aku tatap sekitarku, ternyata tak banyak orang di sekitar sini. Hanya ada beberapa pedagang makanan kecil khas pantai yang sedang menanti pembeli datang ke warung mereka.
Pantai Logending yang sedang kupijak saat itu menjadi saksi betapa sedihnya aku kehilangan orang yang sangat kusayangi. Saat itu untuk pertama kalinya aku menangis karena ditinggalkan Ayah, karena sebelumnya aku tak pernah sampai di titik itu. Di rumah, hanya Ibu yang bisa memahami diriku.
Ya, setidaknya itulah yang aku pahami dahulu, dan sayangnya pemahamanku itu yang membuatku menyesal sekarang.
Sejak kecil aku memang sering berselisih pendapat dengan Ayah. Berbeda dengan kebanyakan anak perempuan lain yang bisa sangat akrab dengan ayahnya, aku tidaklah begitu. Saat kecil aku dididik untuk hidup sederhana bahkan mungkin dibawah itu meski aku tahu sebenarnya ayah lebih dari cukup untuk memenuhi keinginan seorang anak perempuan yang masih banyak bermain. Ketika aku meminta dibelikan mainan seperti boneka Barbie atau boneka karakter untuk menambah ramai kamarku, Ayahku langsung mengubah raut wajahnya menjadi masam.
Bagi Ayah nilai akademik adalah yang nomor satu. Dengan begitu ia berharap anak satu-satunya ini bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan mendapatkan gaji yang banyak.
Dalam benak Ayahku, dan ini juga pernah diungkapkan secara langsung olehnya bahwa ia ingin anaknya ini melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, tapi ia hanya merestui kalau anaknya memilih berkuliah di Fakultas Kedokteran atau Fakultas Hukum.
Tentu keinginan seperti itu merupakan sesuatu yang cukup berat untukku, apalagi untuk menjadi mahasiswa di kedua fakultas tersebut tidaklah mudah, keduanya merupakan fakultas yang banyak diminati mahasiswa karena prospek karir yang menjanjikan.
“Buat apa pintar bermain peran kalau di masa yang akan datang nggak ada gaji atau penghasilan yang menjamin,” ucapnya dengan ketus.
Gaji, gaji, dan gaji. Yap, selalu itu yang dibicarakan ayahku jika membicarakan masa depan denganku.
Waktu terus bergulir hingga aku berhasil diterima di Program Studi Sastra Indonesia Universitas Indonesia (UI). Mengetahui aku diterima di Sastra Indonesia UI Ayahku menemuiku dan menanyai mengapa aku tak mengambil program studi yang disarankannya.
Aku jelaskan panjang lebar kalau prospek kerja dari Prodi Sastra Indonesia juga mempunyai ‘medium’ nya sendiri, dan untuk masalah gaji tidak usah khawatir. Lulusan sastra Indonesia bukan hanya seorang penulis puisi atau cerpen, tetapi bisa merambah ke berbagai bidang yang membuka peluang kerja yang lebih luas lagi. Tapi ayahku tak mau tahu tentang hal itu.
Perdebatan panjang terjadi hari itu, ibuku yang biasanya melerai kami berdua ketika bertengkar kini hanya bisa diam karena hebatnya pertengkaran kami. Puncaknya tamparan keras mendarat di wajahku dan satu tendangan juga tak luput mengenai dadaku. Melihat hal itu ibuku langsung mendekat kepadaku dan membawaku ke kamarnya.
“Bu, aku udah gak kuat lagi, aku mau pergi aja dari sini,” ucapku sambil bercucuran air mata dan menyandarkan kepalaku di bahu ibuku.
“Jangan Nak, di luar sana ke tempat siapa kamu mau berteduh Nak? Iya hari ini memang berat sekali, nggak cuma buat kamu tapi juga buat Ibu yang lihat kejadian tadi,” jawab Ibu dengan suara yang juga bergetar.
“Aku nggak tahu lagi mau ngomong apa. Aku nggak pernah aneh-aneh selama ini, tapi hampir setiap hari aku dimarahi. Bahkan untuk masuk ke UI aku rela belajar sampai larut malam, dan tetap berusaha membantu ayah di toko setiap minggu,”
“Aku kira setidaknya aku bakal diucapin selamat, ternyata harapanku yang sederhana itu juga terlalu besar, ya, sehingga tidak dikabulkan oleh Ayah. Rasanya mendapatkan ucapan selamat dari Ayah itu ekspektasi yang besar, ya, Bu? Sama besarnya seperti ingin mempunyai rumah megah, atau mempunyai Mobil Mercedes ya Bu?”
“Enggak Nak, kamu jangan salah kira. Ibu sebenarnya juga tidak sepenuhnya sependapat dengan pola pikir Ayahmu, apalagi dengan cara mendidik yang ia lakukan. Tapi Ayahmu itu sekeras-kerasnya dia ke kamu, dia ingin kamu jadi yang paling baik. Pandanganmu dan dia tentang sukses mungkin memang beda, tapi ada kesamaan diantara kalian berdua, yaitu sama-sama ingin yang terbaik untuk kita semua.” Ucap ibu dengan lembut.
“Bu izinin aku tidur dipangkuanmu ya buat malam ini, boleh kan?”
“Boleh, sekarang tenangin diri kamu dulu ya.”
Sambil terus mengusap air mataku yang masih menetes aku berusaha untuk menenangkan diri. Ibu juga mengusap-usap kepalaku. Dadaku merasa sangat hangat saat itu, hingga secara tak sadar karena kelelahan aku tertidur di kamar ibu malam itu. Malam itu memang tak terlupakan, karena setelah sekian lama aku mendapatkan perlakuan kasar dari orang tua, aku bisa mendapatkan sedikit kehangatan di usia beranjak dewasa.
Tapi itu hanya sebentar. Keesokan harinya ketika aku keluar dari kamar ibu aku melihat ibuku bersimbah darah dengan luka di perutnya, dan disitu juga aku melihat ayahku yang ingin menghabisi nyawa ibuku karena ia melihat ibu masih bernafas.
Tak tahan dengan hal itu aku menuju dapur untuk mengambil linggis, kemudian aku kembali mendatangi ayah dari bagian belakang ayah. Ia tak menduga kalau anaknya berada dibelakangnya. Ketika ia berbalik aku yang sudah dikuasai oleh amarah dan rasa sedih tanpa ragu memukul wajah ayah dengan linggis yang aku pegang.
Pagi itu bukanlah pagi yang cerah di rumah kami. Pandanganku menjadi gelap walau sinar matahari dengan jelas masuk melalui jendela rumah kami.
Setelah kejadian itu aku hanya bisa terduduk lemas sembari memegang tangan Ibuku yang mulai dingin, dan juga melihat Ayahku yang mengalami luka cukup parah di kepalanya.
“Tasya, jangan nangis lagi ya…” ucap ibu dengan suara yang sangat lirih
“Tadi malam memang ibu sama ayah bertengkar, karena ibu berusaha menenangkan kamu. Ayah sempet cerita kalau ia hanya ingin anaknya bisa membantunya kelak untuk melunasi hutang-hutang yang sudah menumpuk untuk membiayaimu selama ini. Saking stresnya ia diam-diam mengkonsumsi narkotika sehingga seperti yang kamu lihat ia sangat arogan, bahkan kepada istrinya sendiri. Pagi tadi ia sudah pada puncaknya, ketika ibu tertidur di sofa luar, Ibu liat Ayah sudah membawa senjata tajam hendak menuju tempat kamu tidur. Melihat hal itu Ibu langsung mencegahnya dan terjadi apa yang kamu lihat sekarang. Maaf, ya, Nak selama ini kami berdua tidak bisa memberimu masa kecil dan remaja yang bahagia, dan berakhir begini. Sepertinya Ibu sudah gak kuat lagi bicara lama-lama.”
Setelah perkataannya itu tatapan Ibu mulai kosong, menandakan kesadarannya mulai hilang.
“Bu…jangan tinggalin Tasya sendiri…” ucapku dengan terisak-isak.
Namun, isak tangis tidak bisa menyembuhkan orang yang sedang kritis. Ibu dan juga ayahku wafat pada hari itu. Saat tetangga mengetahui kejadian pagi itu alangkah terkejutnya mereka melihat keadaan kami. Aku saat itu tidak tahu harus bagaimana dan harus berkata apa, hari itu dunia serasa gelap sekali.
Beberapa saat setelah kejadian pihak dari rumah sakit dan pihak kepolisian datang ke rumahku. Aku ditanyai mengenai kronologi kejadian pagi itu. Aku katakan apa adanya. Karena perbuatanku, aku dihukum penjara selama 15 tahun.
Lima belas tahun berlalu, aku akhirnya bisa kembali menghirup udara bebas. Saat aku kembali pulang ke rumah, ternyata rumah kami sudah ditinggali Tante Vina, adik dari Ayahku. Aku masuk dan memohon maaf sedalam-dalamnya atas kejadian yang menimpa kakaknya. Beliau juga sudah mengikhlaskan dan memaklumi karena saat itu aku belum terlalu dewasa dan belum matang juga serta diberi ujian yang sulit sejak kecil.
Keesokan harinya aku ke makam Ayah dan Ibu. Aku mohonkan ampun kepada mereka dan berdoa semoga semua amalannya diterima. Saat itu aku benar-benar merasa kehilangan kedua orang tuaku, terkhusus ayahku. Setelah semua apa yang aku alami dengan Ayahku, aku menangis di atas nisan Ayahku.
“Ayah, Tasya minta maaf. Tasya sudah terlalu kasar ke Ayah. Tasya minta maaf karena selalu menjawab ketika dimarahi. Tasya minta maaf karena selalu merasa lebih pintar dari Ayah. Tasya minta maaf karena sering berbohong ke Ayah. Tasya minta maaf karena nggak mau nurunin ego di hadapan Ayah. Pokoknya Tasya minta maaf atas semua kesalahan Tasya ke Ayah,”
Setelah selesai mendoakan kedua orang tuaku aku berkunjung ke Pantai Logending. Di sana aku jadi ingat kalau aku sering diajak bermain bersama Ayah setelah menjaga toko di hari Minggu. Angin lembut kembali berhembus, memberi kehangatan bagi siapapun yang berada di situ. Tiba-tiba kurasakan kehadiran tangan Ayah yang coba menggendongku ketika ada ombak besar datang, seperti yang biasa ia lakukan kepadaku ketika bermain bersama waktu kecil dulu.
Ah, air mataku menetes lagi.
Penulis: Raihan Tri Atmojo
Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Negeri Sebelas Maret
Editor: Sarah Dwi Ardiningrum