Pada dasarnya hak menyampaikan pendapat adalah hak bagi seluruh manusia, dan begitu pula hak mendengarkan. Namun, apabila suara atau pendapat yang ingin kita sampaikan malah akan menjadi ancaman atau boomerang bagi diri sendiri, bukankah hal itu akan menjadikan siapa saja yang ingin bersuara akan memilih untuk diam?
Tidak jarang ditemukan di zaman sekarang banyaknya kasus-kasus kekerasan, korupsi, dan kejahatan lainnya yang terjadi nampak di depan mata kita. Namun, dengan banyaknya pula ancaman-ancaman yang akan didapat, sehingga kasus-kasus tersebut hanya menjadi tontonan semata.
Kebebasan beraspirasi adalah prinsip fundamental dalam mendukung pemikiran kritis dan inovasi di kalangan mahasiswa. Ketika mahasiswa memiliki kebebasan untuk menyatakan pendapat mereka, baik melalui kata-kata maupun tindakan, mereka didorong untuk berpikir secara kritis, menganalisis berbagai perspektif, dan mengemukakan ide-ide baru.
Namun aspirasi-aspirasi dari mahasiswa yang kerap kali disampaikan, baik untuk pihak kampus hingga pemerintah terkadang hanya menjadi bualan semata bagi para pejabat tinggi kampus dan negara.
Mahasiswa yang katanya adalah penerus bangsa, generasi perubahan, tapi nyatanya banyaknya aspirasi-aspirasi yang disampaikan dan hal itu hanya dianggap sebagai bualan anak kecil yang ‘merengek’ meminta permen.
Tidak hanya itu, saat mahasiswa mengawal banyaknya kasus yang terjadi di kampus, para pejabat kampus kerap kali mengancam dengan nilai yang tidak akan turun, lulus yang diperlambat bahkan dipersulit dan lain sebagainya.
Sehingga banyaknya aktivis kampus dalam mengawal kasus-kasus sering kali hanya memilih untuk diam dan ‘cukup tau’, begitu katanya. Itu mengapa organisasi-organisasi atau unit kegiatan mahasiswa di dalam suatu kampus menurun peminatnya.
Faktor utama selain malasnya mahasiswa dalam mengikuti agenda kegiatan kampus yang melelahkan bagi beberapa mahasiswa ‘kupu-kupu’ atau ‘kuliah-pulang kuliah-pulang’, faktor lainnya ialah kurangnya kebebasan dalam menyampaikan aspirasi atau suara untuk mengkritik kampus, alih-alih ingin mendapat apresiasi atau merubah, sebaliknya malah mendapat ancaman.
Bukankah menjadi salah satu mahasiswa aktif dalam kegiatan kampus akan menjadi wadah atau privilege sebagai wakil mahasiwa untuk menyampaikan aspirasi atau kritiknya untuk kampus supaya menjadi lebih baik lagi?
Apakah untuk bersuara harus mempunyai pengetahuan seperti Albert Einstein? jika iya begitu, untuk apa ada jenjang pendidikan, bukankah dalam beraspirasi merupakan keresahan bagi suatu mahasiswa, ataupun masyarakat yang menjadi peran dalam mengalami keresahan tersebut.
Sering kali dalam mengawal kasus yang terjadi, mahasiwa yang menyampaikan aspirasinya dikatakan sok pintar dan tidak mengetahui apa apa, alhasil menjadi debat yang tiada akhir.
Dalam mengawal kebijakan-kebijakan kampus, mahasiswa yang tidak mempunyai keberanian dan memilih untuk diam, sebenarnya memiliki dalih atau sanggahan untuk beropini, namun seringnya terdengar ancaman-ancaman yang akan didapat, sehingga banyaknya kasus-kasus tersusun rapi dan tidak terungkap.
Seharusnya pihak kampus dapat melindungi mahasiswa dalam menyampaikan kebebasan aspirasi, karena hal itu penting bagi kampus untuk menjaga kemandirian akademik dan tidak membatasi hak berbicara mahasiswa berdasarkan pandangan kritik maupun masukan atau kepentingan lainnya.
Kampus harus menjadi tempat yang bebas dari sensor dan intervensi yang tidak beralasan. Dan pembatasan terhadap kebebasan beraspirasi yang tidak masuk akal, dapat meredam semangat inovasi serta menghambat pertumbuhan intelektual mahasiswa dalam menyampaikan aspirasinya.
Penulis: Seliana Putri
Mahasiswa Aktif Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
Editor : Kholisa Nur Hidayah