Berbicara mengenai Uang Kuliah Tunggal (UKT), banyak dikalangan mahasiswa yang tak sanggup membayar UKT dan mengharap berbagai universitas meringankan UKT tersebut. Disebutkan pada Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Tahun 1945 menegaskan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Namun pada kenyataannya tidak jarang juga penyesuain biaya kuliah UKT tidak mencerminkan keadaan keuangan daripada mahasiswanya. Tentunya hal tersebut bisa membuat kericuhan yang signifikan, mahasiswa menjadi takut tidak dapat menjalani proses perkuliahannya hingga selesai.
Menghadapi persoalan seperti itu pastilah akan terjadi, ataupun bukan suatu yang hal yang pertama kali terjadi. Keadaan semacam ini membuat banyak mahasiswa saat menjalani perkuliahan terpaksa mengundurkan diri. Sehingga banyak mahasiswa yang terpaksa menguburkan niatnya untuk menjadi sarjana.
Banyak sejumlah kalangan mahasiswa pun juga sudah berulang kali mengkritisi kebijakan mahalnya UKT tersebut. Hal itu dilakukan mahasiswa dengan cara melakukan berbagai aksinya seperti, demonstrasi, tanda tangan petisi, dan lain sebagainya.
Keadaan tersebut menandakan dimana semua cara sudah dilakukan demi membela hak mereka sebagai mahasiswa agar tetap bisa melanjutkan perkuliahannya. Namun, sangat disayangkan usaha yang telah dilakukan mahasiswa kurang membuahkan hasil. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya drama yang terjadi yang tersusun rapi mengenai persoalan seputar UKT di Perguruan Tinggi (PT).
Padahal berbicara mengenai peraturan yang ada, telah disebutkan pada amanat konstitusi Pasal 31 Ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945 baru mengatur secara imperatif kewajiban pemerintah untuk membiayai warga negara guna mengikuti pendidikan dasar.
Akan tetapi masih banyak PT memberi kebijakan yang tak terduga mengenai UKT sehingga banyak mahasiswa yang perekonomian yang tak mumpuni merasa terbebani. Maka dari itu Kebijakan UKT harus diterapkan secara proporsional dan berkeadilan.
Pemerintah, PTN maupun PT harus memberi keringanan UKT sesuai dengan kelas golongan perekonomian mahasiswanya. Hal ini untuk meminimalisir adanya mahasiswa yang terhenti pendidikannya karena beban UKT yang mereka tanggung.
Kartu Indonesia Pintar (KIP) merupakan sebagai bentuk jaminan pembiayaan pendidikan dan bantuan biaya hidup yang diberikan kepada pelajar dari keluarga kurang mampu untuk melanjutkan pendidikannya ke PT.
Dari banyaknya kasus yang terjadi bahkan KIP juga bisa dimiliki oleh kalangan yang mampu dalam perekonomian sehingga batas jatah KIP bagi orang-orang yang kurang mampu tidak bisa mendapatkan KIP. Oleh karenanya perlu menjadi perhatian Pemerintah untuk memperkuat siapakah yang pantas mendapatkan KIP tadi.
Dari beberapa perjuangan mahasiswa demi membayar kuliah seperti menyambi bekerja hal tersebut tak mudah dilalui, karena pada dasarnya belum waktu mereka memasuki dunia kerja.
Belum lagi pada proses perjalanan kuliah suatu hal yang tidak bisa dianggap cukup mudah. Sehingga jika dari suatu universitas tidak menerapkan kebijakan UKT secara proporsional dan berkeadilan justru membuat mahasiswa tadi merasa lelah dengan proses menempuh pendidikan. Di sisi lain berdampak juga pada persoalan kesehatan mental mahasiswanya.
Apakah dari kasus yang telah terjadi dapat merubah kebijakkan UKT secara proporsional dan berkeadilan? Hal ini tidak memungkinkan dapat merubah, sehingga harus dimulai dengan benar-benar adanya tindakan dari masing-masing universitas tersebut.
Maka solusinya setiap tahun melakukan evaluasi mengenai UKT, pihak universitas harus mendata secara ketat terkait penghasilan orang tua dari setiap mahasiswanya, yang kemudian dikelompokkan dengan urutan golongan atas, menengah, dan bawah (sesuai dengan data ekonomi mahasiswa yang ada) sehingga akan mengetahui siapa yang pantas mendapatkan UKT rendah dan tinggi.
Tak hanya itu, dari kampus itu sendiri juga harus meneliti secara ketat mengenai keuangannya, seberapa banyak keuangan yang harus dikeluarkan untuk pengembangan kampus? Sehingga yang perlu dinaikkan UKTnya adalah mahasiswa golongan atas.
Penulis: Baelqis Yasminagara
Mahasiswa Aktif Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
Editor: Ridhwan Nabawi