Langit pagi ini tampak begitu cerah, tapi sungguh sekarang ini aku seperti orang gila yang hanya diam mematung di sofa usang milik nenek. Dalam hati aku merutuki ibuku yang gencar mengajakku mengunjungi rumah nenek.
Seandainya tidak, mungkin sekarang aku sedang bersantai di kamar menonton series Thailand dan memakan mie China, tapi lihatlah aku sekarang, sudah layak disebut orang paling menyedihkan di dunia yang hanya bisa duduk diam sembari berkhayal.
Aku menghabiskan waktu setengah jam untuk melihat ruangan-ruangan di rumah ini, dan sekarang yang terakhir, kamar nenek.
Tampak pintu dari kayu jati dengan ukiran bunga- bunga yang cantik. Segera kudorong pintu itu, dan terlihat sebuah kamar yang tidak bisa dibilang kecil ataupun besar. Di sana tampak nenek yang sedang duduk di kursi milik kakekku, tak lupa buku yang senantiasa berada dipangkuannya. Aku berjalan mendekati nenek dan duduk di ranjang kosong miliknya.
Setelah itu, ketelusuri seluruh ruangan nenek tanpa ada yang terlewat. Terdapat ranjang yang berada di tengah ruangan, lalu lemari dari kayu di depannya, dan beberapa hiasan dinding seperti lukisan serta foto keluarga, dan, oh bentar, apa itu yang berada di sudut kamar ini? Apakah itu maneken? Benarkah? Untuk apa nenek menyimpannya?
“Nek, apa ini?” tanyaku keheranan. Kupegang tangan maneken itu dan kugerakkan sedikit. Seketika mataku membelalak, benda ini dapat digerakkan.
“Kenapa kau memajangnya di sini?” desakku tidak sabar ketika nenek tak menjawab pertanyaanku tadi.
“Kau benar-benar ingin tahu?” Nenek menimpali sembari menyingkirkan buku dipangkuannya, sontak aku mengangguk antusias.
“Kemarilah, akan nenek ceritakan sebuah cerita yang tidak akan pernah membuatmu tidur.”
Aku berjalan menuju ke kursi yang diduduki nenek, duduk di lantai dengan menumpukan tangan dan kepalaku ke lutut nenek, sebelum memulainya nenek melepaskan kacamatanya lalu membelai rambut panjangku.
“Dulu, nenekmu ini adalah seorang pembantu. Tahun 1968 bulan Maret tepatnya, saat itu umur nenek menginjak 18 tahun, dengan terpaksa Nenek menjadi pembantu seorang tuan tanah,” kata nenek memulai ceritanya.
“Saat itu nenek seusiamu. Mungkin pada tahun itu bekerja di usia 18 tahun bukanlah hal yang tabu, tapi bagi Nenek itu sungguh menyedihkan. Usia di mana seharusnya nenek habiskan untuk belajar dan bermain bukan bekerja,” papar nenek dengan tatapan kosong menerawang.
Aku hanya diam memperhatikan nenek dari bawah sembari menikmati elusan tangan nenek di surai panjangku.
“Tidak ada yang bisa dibanggakan bekerja menjadi pembantu seorang tuan tanah, karena yang nenek dapatkan adalah perlakuan buruk dari Sang Majikan. Nenek dihina, dicaci, dan direndahkan.”
“Apakah kekerasan termasuk dalam ‘perlakuan buruk’ yang Nenek maksud?” tanyaku penasaran.
“Ya, itu termasuk di dalamnya. Bahkan, lebih dari itu, nenek dilecehkan oleh anak dari majikan nenek ketika satu tahun bekerja.
Sungguh saat itu rasanya Nenek ingin mengakhiri hidup, sesuatu yang Nenek pertahankan sudah diambil. Tidak ada lagi yang harus Nenek banggakan dalam diri Nenek karena pada waktu itu seorang wanita dihormati karena ‘mahkotanya’ dan Nenek sudah tak memilikinya.”
Kulihat nenek menyipitkan matanya dan memberikan tatapan kosong yang tajam ke dinding di depannya. Seolah dinding itu adalah pelaku yang sudah melakukan tindakan asusila kepada nenek.
Setelah kejadian itu, nenek benar-benar tidak tahan dengan perlakuan mereka, tapi nenek bisa apa? Hanya menangis di pojokan kamar saat tengah malam.
Aku mengeratkan pelukanku di kaki nenek, masih dengan duduk bersimpuh dengan paha nenek sebagai bantalan. Lantas, nenek melanjutkan ceritanya,
Saat itu ditengah kekalutan menek, nenek
semua keburukan tuan tanah biadab itu. Nenek mencurahkan perasaan nenek di buku kecil usang peninggalan Buyutmu, dan cara itu cukup jitu menyembuhkan luka hati nenek. Setidaknya ada yang jadi pelampiasan untuk mengurangi ngilu di hati nenek.
“Nek, aku ingin melihatnya,” cecarku, sungguh aku ingin melihat seperti apa tulisan- tulisan nenek waktu itu.
“Apa yang ingin kau lihat? Tidak ada yang tersisa setelah Nenek meninggalkan rumah biadab itu.”
“Kau meninggalkan rumah itu?” Dahiku mengernyit dalam ketika nenek mengangguk.
Buku milik nenek sampai ke tangan tuan tanah itu. Mereka murka melihat nenek berani memaki mereka, walau hanya dalam bentuk tulisan. Nenek semakin mendapat siksaan dan tidak sampai seminggu dari kejadian itu, nenek memilih untuk pergi. Meninggalkan segala kebusukan mereka, mencoba lebih menghargai diri sendiri dengan mencari kebahagiaan baru.
“Nenek meninggalkan pakaian dan segala barang Nenek di sana, sudah tidak peduli lagi jika barang-barang itu mungkin akan dibakar. Nenek hanya ingin melarikan diri dari neraka dunia yang benar-benar menyiksa. Nenek tahu keputusan Nenek melarikan diri adalah tindakan impulsif yang sungguh bodoh, tapi di situasi itu melarikan diri adalah keputusan yang terbaik,” tutur nenekku, kemudian ia berdiri menuju ranjang dan akupun mengikutinya.
Kita duduk berhadapan di kasur nenek, sebelum memulai lagi ceritanya aku menanyakan hal yang dari tadi mengusikku.
“Nek, kau meninggalkan rumah itu bukan hanya karena mendapat siksaan? Karena selama setahun kau bisa menanganinya, tidak mungkin kau memutuskan pergi hanya karena itu. Pasti ada hal lain, apa itu?” Kulihat nenek tersenyum mendengar pertanyaanku.
“Pertanyaan cerdas. Ada hal lain yang membuat nenek pikir, nenek akan bahagia jika nenek pergi. Pertama, fakta bahwa gaji nenek selama ini dimakan anak majikan nenek, jadi yang selama ini kulakukan tidak ada hasilnya. Lalu, kabar bahwa buyutmu meninggal karena kelaparan membuat Nenek semakin yakin. Kedua, Nenek selalu mendapat surat- surat misterius yang pengirimnya tidak Nenek ketahui. Tepat ketika surat ke-9 Nenek terima, saat itu juga Nenek memilih pergi tanpa alas kaki dan hanya membawa secarik kertas,” jelas nenek seraya bangkit dari ranjang, berjalan menuju lemari dan mengambil sebuah kantong coklat kecil.
Aku tidak tahu kantong itu berisi apa, dilihat dari bentuknya sepertinya hanya berisi kertas-kertas, nenek mengambil salah satunya. Ia kembali berjalan ke arahku, lalu menyerahkan kertas itu kepadaku.
“Itu surat ke-9 yang Nenek bawa waktu itu, bacalah!” pinta nenek kepadaku.
Segera saja aku baca isi kertas itu, tulisan itu berbunyi,
Ini bukanlah sebuah tulisan surat kerajaan, hanya susunan kata yang mungkin membuat jengah, tapi percayalah si pengirim ini adalah orang yang pernah melarikan diri. Jadi, barangkali kau ingin pergi, maka temuilah aku. Seorang lelaki penunggu pohon di atas bukit.
Hanya berisi tiga kalimat yang ditulis dengan tinta hitam dan terdapat cap jari dari cat minyak. Aku mengerutkan keningku ketika melihat cap jari itu.
“Cap jari ini untuk apa, nek?” tanyaku seraya menolehkan kepala ke arah nenek yang sudah duduk di sampingku.
“Nenek awalnya juga sepertimu, keheranan. Terlebih karena surat-surat sebelumnya tidak ada cap tangan atau apapun, tapi semua terjawab ketika nenek sampai di bukit. Di sana di bawah pohon beringin, tampak seorang lelaki yang sedang melukis.
Terjawab sudah, cap tangan dari cat minyak adalah untuk memberi petunjuk bahwa sang pengirim adalah seorang pelukis jalanan yang pernah melarikan diri. Dia adalah Kakekmu, seorang pemuda yang menyelamatkan hidup Nenek,” kata nenek disertai dengan senyuman yang sangat tulus dengan memandang maneken pria di pojok kamar.
Masih ada hal yang membuat keningku berkerut. “Nek, bagaimana Kakek bisa mengetahui keadaan nenek, bahkan menawarkan untuk menemuimu?” tanyaku akhirnya.
“Nenek juga penasaran sepertimu, maka kutanyakan kepadanya hal yang membuatku penasaran. Jawabannya sungguh mengejutkan, kirimkan seorang penolong untukku Tuhan, bahkan jika orang gila pun aku akan menerimanya, kau memingatnya
Akulah penolongmu. Itu yang diucapkan Kakekmu, selarik kalimat yang Nenek tulis di buku usang yang diambil majikanku. Ia menemukan buku itu di tempat sampah dekat rumah biadab itu,” jelas nenek kepadaku.
Lantas, nenek melanjutkan ceritanya,
“Nenek memutuskan untuk hidup bersamanya. Menghabiskan sisa hidup bersama pria pelukis dari bukit, tepat pada bulan ke-9 tahun 1971 kami mengucap janji suci itu. Kakekmu adalah seorang penyelamat yang sungguh Nenek syukuri. Kami bahkan mempunyai putri setelah satu tahun pernikahan dan itu adalah Ibumu. Saat itu sungguh Nenek pikir akan hidup bahagia selamanya.” Nenek tersenyum miris seraya mengalihkan tatapan matanya dari maneken.
“Ternyata takdir berkata lain. Tepat ketika putri kami berusia 6 tahun, Kakekmu mulai sakit-sakitan, saat itu umurnya baru 30 tahun. Lalu, 3 tahun kemudian dia meninggalkan Nenek dan Ibumu. Dunia nenek kembali runtuh, Nenek tidak memiliki semangat untuk melanjutkan hidup, tapi nenek sadar masih memiliki satu putri yang ditinggalkan Kakekmu untuk Nenek jaga, maka sejak saat itu Nenek mulai kembali menata hidup dan melanjutkan hidup layaknya wanita single parents,” papar nenek lagi.
Senyuman yang semula terbit kembali pudar, binar matanya sudah berganti menjadi tatapan sendu. Aku tidak tahu ini merupakan akhir yang bahagia atau justru akhir yang menyedihkan.
Beberapa menit hening di antara kita, aku menikmati keheningan ini sampai ketika nenek membuka suara.
“Maneken ini adalah simbol bahwa ada seorang yang begitu berharga dalam hidup Nenek, dia adalah Kakekmu. Terlepas dari semua kesalahan yang pernah dilakukan, Kakekmu adalah seorang yang berjiwa mulia dansangat layak untuk dikenang.”
Aku menyetujui ucapan nenek, karena benar adanya kakek adalah seorang penyelamat yang sudah sepatutnya untuk di kenang.
Ada banyak cara untuk mengingatnya, dan nenek memilih untuk meletakkan sebuah maneken yang berpakaian setelan baju kakek. Sungguh aku tidak pernah kepikiran bahwa nenek melakukan hal itu untuk mengobati rasa rindunya.
Penulis: Hanifa Eka Rahmadani
Mahasiswa Aktif Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
Editor: Shafy Garneta Maheswari