Terlahir sebagai manusia Indonesia tentu tak lepas dari berbagai macam nilai yang terkandung dalam keseharian masyarakatnya. Nilai-nilai tersebut merupakan identitas sekaligus pedoman hidup yang akan menuntun keberlanjutan bangsa. Karena bukan bawaan lahir, maka nilai-nilai itu perlu ditransfer. Salah satu caranya jelas melalui lembaga pendidikan formal yang diselengarakan negara.
Dalam praktiknya, lembaga pendidikan formal di Indonesia memang telah berperan langsung dalam mengajarkan nilai-nilai tersebut. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa masih banyak nilai yang luput dari keseharian. Dengan kata lain, antara pendidikan yang diwacanakan dan realitanya masih belum sesuai. Formalitas.
Nilai yang dimaksud di sini lebih kepada aspek-aspek moral dan etika, tentu saja, seperti kejujuran, disiplin-amanah, empati, dan sebagainya. Hanya karena nilai-nilai tersebut sulit untuk diasosiasikan dalam skala atau angka-angka, bukan berarti pemenuhannya tidak dijadikan acuan penting dalam proses pendidikan.
Saya pribadi berpendapat, mentalitas bangsa Indonesia masih permisif dan belum bisa tegas soal pengejawantahan nilai-nilai luhur ini dalam segala aspek kehidupan bangsa. Betapa banyak pelajar dengan nilai pelajaran tinggi, tetapi tak diimbangi dengan prinsip-prinsip moral yang bertanggung jawab. Akui saja, sebagai mahasiswa saat ini, joki tugas dan contek-menyontek masih menjadi pemandangan sehari-hari.
Kalaupun tidak demikian, terkadang malah dari pihak lembaga pendidikannya yang ‘mengkatrol’ nilai hasil belajar secara subjektif, hal yang jamak diketahui siswa SMA agar bisa masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit. Belum lagi kasus bullying dan berbagai kenakalan yang muncul justru ketika seseorang berstatus sebagai pelajar.
Dari fenomena-fenomena ‘sederhana’ yang bersifat kasuistik di atas, bisa dikatakan bahwa situasi pendidikan Indonesia sedang tidak baik-baik saja; kurang sesuai kodratnya. Selain dari persoalan birokrasi, kompetisi, & ketimpangan (kuantitas-kualitas) di berbagai tempat sebagai problem lanjutan, belum terciptanya kesadaran kolektif yang masif ihwal nilai-nilai prinsipiel tadi saja sudah menjadikan lembaga pendidikan tak ubahnya mesin pencetak wisudawan.
Padahal, jika didalami dari kata “pendidikan” sendiri mestinya sudah mencakup pembentukan aspek moral dan etika. Berbeda apabila menggunakan kata ‘pembelajaran’ di mana yang terjadi hanyalah transfer of knowledge, apa yang diharapkan dari proses mendidik adalah transfer of value juga. Dengan demikian, keberlanjutan nilai-nilai pembentuk identitas bangsa bukan hanya konsep yang tercantum dalam kurikulum.
Begitulah arti pendidikan sebenarnya dan di sinilah peran pendidik: membentuk manusia terdidik melalui pembelajaran sekaligus pelatihan yang utuh. Di mulai dari paradigma tentang pentingnya nilai yang tidak hanya soal angka-angka, lalu menjadikan pelajar terbentur, terbentur, terbentuk. Pelajar sebagai peserta didik tidak hanya teruji secara akademis, tetapi juga secara sikap dan perilaku.
Paradigma pendidikan seperti ini perlu ditanamkan dalam benak seluruh elemen masyarakat. Namun, orientasi pada value yang tak didukung oleh infrasturktur pengelolaan yang baik tidak mungkin bertahan lama. Karenanya, warisan terbaik pemerintah selaku penyelenggara pendidikan formal adalah membangun institusi yang baik. Institusi dengan sistem kuat dan inklusif serta memperhatikan kesejahteraan tenaga pendidik.
Adapun mahasiswa, dengan berbagai peran dan fungsinya, atau siapa pun yang mengaku sebagai kaum terdidik, sudah semestinya ikut memegang peranan-peranan tertentu di tengah masyarakat, bahu-membahu mentransfer pengetahuan dan nilai-nilai luhur dalam rangka membentuk masyarakat terdidik yang mampu mendorong kemajuan peradaban.
Penulis: Akhdan Muhammad Alfawaz
Mahasiswa Aktif Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
Editor: Ridhwan Nabawi