Malam yang hening di utara Stasiun Solo Balapan seketika memudar dengan sapaan seorang bapak jangkung bertopi hitam.
“Arep nengdi Mas? golek yo?”
Bukan hanya isapan jempol, benar adanya daerah sekitar itu (utara Stasiun Balapan –red) terdapat tempat lokalisasi. Berdirinya lokalisasi sudah lama dan sudah menjadi sumber mata pencaharian utama bagi sebagian orang.
Menyoal prostitusi sendiri merupakan praktik ilegal sebagaimana yang tertera pada Undang-Undang (UU) Pasal 284, Pasal 295, Pasal 296, Pasal 297, dan Pasal 506.
Melansir dari okezone.com, Koordinator Nasional Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) mengungkapkan, bahwa estimasi jumlah pekerja seks perempuan di Indonesia mencapai kisaran 230.000 orang pada 2019.
Hal tersebut membuktikan praktik prostitusi masih menjamur di Indonesia. Maka kegiatan ini merupakan hal serius yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari peran masyarakat dan pemerintah.
Perubahan Zaman, Perubahan Gaya
Menurut Pak Slamet (nama samaran-red) seorang muncikari yang berhasil reporter pabelan-online.com temui, ia bercerita aktivitas prostitusi sudah cukup lama terjadi di utara Stasiun Balapan ini. Ia bahkan sudah menjadi seorang muncikari selama kurang lebih 30 tahun.
“Neng kene yo akeh mas, cah smp eneng, cah sma eneng, opo meneh cah kuliahan yo akeh,” tutur Slamet dengan fasih pengucapan bahasa Jawa, Jumat (18/8/2023).
Ia menjelaskan, bahwa mahasiswi-mahasiswi tersebut bersedia bekerja seperti itu lantaran memang tak ada pekerjaan lain untuk mereka pilih, ada yang memang untuk membayar biaya kuliah, bahkan ada yang memang hanya mencari kesenangan saja.
“Tak ada yang salah. Hal tersebut menjadi hak hidup masing-masing orang,” tambahnya.
Slamet sendiri selama menjalani pekerjaan sebagai muncikari memiliki penghasilan yang tak menentu. Terlebih semenjak Covid-19 hingga pasca Covid-19 saat ini semakin menurun.
Kebanyakan para mahasiswi tersebut enggan menggunakan jasa muncikari darinya alih-alih sudah bisa mencari pelanggan sendiri menggunakan Dating apps dengan kemajuan perkembangan teknologi yang semakin pesat.
Gaya Hidup yang Tidak Sesuai
Selama penelusuran, reporter pabelan-online.com menemui seorang mahasiswi Pekerja Seks, Ageis (nama samaran-red) bercerita, ketika siang hari menjadi seorang mahasiswi yang berpakaian tertutup layaknya seperti mahasiswi umum lainnya, kemudian duduk manis sembari mendengarkan dosen menjelaskan.
Saat malam tiba, gaya pakaian seketika menjadi minim dengan tambahan pernak-pernik untuk menarik perhatian pria.
Ia mengungkapkan, biasanya mencari pelanggan menggunakan Dating Apps atau sejenisnya. Hal itu ia rasakan lebih mudah menggunakan Dating Apps ketimbang mucikari.
Semenjak terjun ke dunia prostitusi ia tak pernah menggunakan bantuan muncikari untuk menarik pelanggan. Sistem ordernya pun mudah, tinggal janjian ketemuan, bayar dan kemudian selesai tanpa dipotong tarif apapun kecuali sewa kamar.
Ia mengaku melakukan ini bukan karena tak mampu membayar biaya kuliah. Namun, memang dirinya memiliki gaya hidup yang mewah, maka untuk memenuhi gaya hidupnya ia melakukan pekerjaan tersebut.
“Ra cukup mas kalau cuman ngandalke duit seko wong tuo,” Jelasnya, Kamis (28/09/2023).
Awalnya ia tak berminat untuk menjadi seorang pekerja seks komersial atau yang di singkat PSK. Namun, setelah melihat teman-temannya yang sudah terlebih dahulu melakukan hal serupa, dengan berpenghasilan besar dan bisa membeli barang-barang branded dengan mudah.
Dengan hasrat yang menggiurkan mendapat uang secara instan lantas ia mengikuti teman-temannya untuk menjadi seorang PSK.
Pihaknya bercerita, dapat melayani satu sampai tiga orang dalam semalam, dengan tarif termurah 500 ribu dan tarif termahal tiga jutaan.
“Sak bengi iso entok sejuta tigajutaan ngono i mas,” tambahnya.
Sudah hampir lima tahun ia menjalani hidup sebagai seorang PSK dan merasa hal tersebut tidak menjadi persoalan. Bau rokok dan minuman keras sudah menjadi makanan sehari-hari olehnya.
“Wong tua yo belum tau mas, yen roh wes di pateni aku hahaha,” sambungnya sambil tertawa.
Adapun, selama ini nilai akademiknya terbilang aman tidak jelek-jelek amat, bahkan ada di beberapa semester yang mengalami peningkatan.
Namun, dirinya mengaku akan berhenti dari dunia yang seperti itu setelah mendapatkan suami atau menikah. Walaupun baginya pekerjaan itu menyenangkan, ia menyadari bahwa hal tersebut salah dan dilarang oleh agama. Dalam hati kecilnya ia masih menginginkan hidup di jalan yang benar.
Korban Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual saat ini menjadi momok permasalahan yang mengkhawatirkan di Indonesia. Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kejahatan yang serius dan merugikan, menciptakan dampak psikologis, emosional, dan fisik yang mendalam bagi korban.
Fenomena ini tidak hanya merugikan individu yang langsung terlibat, tetapi juga merusak struktur sosial secara keseluruhan.
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA), dalam periode 1 Januari-27 September 2023 ada 19.593 kasus kekerasan yang tercatat di seluruh Indonesia. Dari total kasus kekerasan yang tercatat, 17.347 individu yang menjadi korban adalah perempuan.
Jika dilihat dari segi kelompok usia, kelompok usia 13-17 tahun mendominasi sebagai korban kekerasan di Indonesia pada periode tersebut, mencapai jumlah 7.451 individu atau sekitar 38% dari total korban kekerasan.
Sementara itu, kelompok usia 25-44 tahun merupakan kelompok usia dengan jumlah korban terbanyak selanjutnya pada periode tersebut.
Di sisi lain, Lauce (nama samaran-red) salah satu dari sekian ribu banyak korban dari kekerasan seksual tersebut bercerita, menjadi seorang PSK bukan maksud keinginan hatinya, sebab mulanya ia melakoni hal itu karena pacarnya sendiri kala itu yang tega menodai kehormatan yang ia miliki.
Pacar yang seharusnya menjaga dan mengayomi, malah menjadi serigala yang tega menerkam dirinya.
Sudah hampir delapan tahun menjalani hidup dengan berprofesi sebagai seorang PSK. Dirinya sering mencari pelanggan di tempat-tempat clubbing dan terkadang menggunakan Dating Apps.
“Kebanyakan om-om atau bapak-bapak sih, kalau untuk yang seumuran jarang, bahkan aku ga mau,” Jelasnya, Sabtu (4/11/2023).
Dirinya juga mengaku bahwa menjadi seorang PSK bukan karena tak mampu membayar biaya kuliah. Akan tetapi, karena sudah terlanjur tak suci lagi, ditambah kekecewaan yang melanda dirinya.
”Kalau trauma ga sih ya mas, nyatanya aku malah menikmati pekerjaan ini,” tambahnya.
Jalan Pintas Penghasil Uang Instan
Aad Satria Permadi, S.Pi., M.Si selaku dosen psikologi di Universitas Muhammadiyah Surakarta turut menyampaikan, bahwa prostitusi baginya jalan pintas yang dilakukan orang untuk memenuhi kebutuhan hedonisme-nya.
Mahasiswi menjadi PSK karena gaya hidup, bukan karena keperluan hidup. Mahasiswi-mahasiswi tersebut memiliki kepribadian yang mendorong untuk hidup mewah, namun malas.
Kemewahan bagi mahasiswi tersebut bukan sekedar life style, namun harga diri atau gengsi sehingga perlu jalan pintas untuk menghasilkan uang instan. dan prostitusi adalah jalan yang mereka anggap paling mudah.
“Membayar kuliah salah kebutuhan yang mungkin ikut dipenuhi melalui prostitusi. Namun, kebanyakan pengeluaran mereka di luar kebutuhan primer dan pendidikan,” jelasnya, Minggu (10/12/2023).
Kemungkinan besar mahasiswi-mahasiswi tersebut memiliki masalah dalam memaknai hidup dan motivasi, sehingga mahasiswi tersebut tidak menyukai proses dan tidak mampu menunda kesenangan.
“Mahasiswa perlu dididik memaknai hidup dengan benar. Bahwa kebahagiaan tidak melulu soal materi,” tambahnya.
Sejatinya manusia perlu dilatih untuk menikmati proses dan perjuangan. Bahwa segala sesuatu yang instan pasti berdampak buruk dalam jangka panjang. Dukungan teman juga penting. Perlu adanya upaya saling support, saling asah, asih, asuh sesama mahasiswa. Saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.
”Dan yang terpenting, kita semua perlu memohon petunjuk Allah SWT, agar dapat terhindar dari perbuatan tercela.” harapnya.
Reporter: Bagas Pangestu
Editor: Sarah Dwi Ardiningrum