UMS, pabelan-online.com – Melki Sedek Huang salah satu Mahasiswa Universitas Indonesia (UI), divonis bersalah melakukan kekerasan seksual dan dikenai skors satu semester. Namun, Melki mengajukan surat keberatan atas proses investigasi yang dianggap tidak adil dan meminta pemeriksaan ulang atas kasusnya ke Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UI.
Melansir dari kumparan.com Melki terbukti melakukan tindak kekerasan seksual setelah melalui penyidikan oleh Satgas PPKS UI. Melki dilaporkan ke Satgas PPKS UI pada 14 Desember 2023 atas dugaan melakukan pelecehan seksual. Hasil investigasi Satgas PPKS UI menunjukkan bahwa Melki terbukti bersalah melakukan pelecehan seksual. Ia langsung dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI sejak Senin, 18 Desember 2023. Selain itu, ia juga mendapat sanksi skors akademik selama satu semester.
Pada 29 Januari 2024, Ari Kuncoro selaku Rektor UI mengeluarkan SK Nomor 49/K/R/UI/2024 dengan delapan keputusan yang menyertai. Setelah dikeluarkannya SK tersebut, pada 31 Januari 2024, Melki mengeluarkan surat keberatan dan pengajuan pemeriksaan ulang pada Satgas PPKS UI yang ia bagikan di akun instagram dan twitternya. Menurutnya ada beberapa alasan yang dirasa kurang adil, seperti kurangnya transparansi sepanjang proses investigasi yang berlangsung kurang lebih sebulan dan meminta pemeriksaan ulang.
Pada surat yang diunggahnya tersebut, terdapatnya kejanggalan dalam proses investigasi dikarenakan ia hanya dipanggil sekali untuk dimintai keterangan. Ia merasa tidak ada ruang untuk menyampaikan keterangan terbarukan, menyampaikan bukti, bahkan tidak diajak untuk memvalidasi bukti yang sudah ada. Tetapi, setelah berbagai ketidakadilan yang diterima, ia tetap melaksanakan peraturan dan kewajiban yang sudah ditetapkan.
Dihubungi reporter pabelan-online.com Melki sebagai pihak yang bersangkutan pada awalnya berkenan untuk dilakukan diwawancara. Namun, setelah dihubungi kembali, ia tidak merespon hingga berita ini terbit.
Ketua Satgas PPKS UNS Ismi Dwi Astuti Nurhaeni menjelaskan bahwa proses investigasi kasus kekerasan seksual bersifat rahasia dan hanya bisa diketahui oleh pihak berwenang. Transparansi yang dimaksud dalam peraturan adalah perihal perkembangan kasus jika diminta korban, bukan publikasi ke masyarakat luas.
“Bahkan kalau di Satgas PPKS UNS, kami membuat kesepakatan dengan korban, saksi maupun terduga pelaku. Semua informasi yang disampaikan sifatnya rahasia dan tidak boleh disampaikan kemanapun kecuali atas persetujuan Satgas PPKS. Oleh karena itu kronologis dan bukti konkrit kasus kekerasan seksual tidak pernah dilampirkan dalam penjatuhan sangsi. Biasanya yang disebutkan dalam SK penjatuhan sangsi adalah jenis pelanggaran yang dilakukan oleh terduga pelaku. Jika terduga pelaku merasa keputusan tidak adil, maka berhak mengajukan banding ke Kemendikbudristek,” ujarnya, Kamis (29/02/2024).
Kemudian Ia memberi tanggapan mengenai kasus dari Melki dalam proses pemanggilan oleh Satgas PPKS UI yang hanya dilakukan satu kali. Ia menjelaskan, tidak ada ketentuan berapa kali terduga pelaku perlu dipanggil. Selama data yang dibutuhkan sudah dirasa cukup dari keterangan korban, terduga pelaku ataupun para saksi, maka penjatuhan sangsi dapat segera dilakukan.
Ismi Dwi Astuti Nurhaeni juga menjelaskan dengan konkrit mengenai dasar hukum pada Pasal 51 Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, bahwa jika keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi dianggap tidak adil, korban atau terlapor berhak meminta pemeriksaan ulang yang disampaikan melalui kanal pelaporan Kemendikbudristek.
Pemeriksaan ulang dilakukan oleh Direktur Jenderal yang membidangi urusan pendidikan tinggi. Hasilnya dapat berubah atau membatalkan keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi. Maka jika terduga pelaku merasa keputusan Rektor UI tidak adil, dapat mengajukan banding ke Kemendikbudristek.
Hasil Pemeriksaan ulang dapat berupa penguatan keputusan pemimpin perguruan tinggi, atau memberikan rekomendasi kepada Pemimpin Perguruan Tinggi untuk mengubah keputusan pemimpin perguruan tinggi; atau membatalkan keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi. Oleh karena itu jika terduga pelaku merasa bahwa keputusan Rektor dianggap tidak adil, yang bersangkutan bisa mengajukan banding ke Kemendikbudristek.
Di sisi lain Bagus Wahyudi mahasiswa Fakultas Ilmu Kesejahteraan Sosial (FISIP) UI, narasumber yang dihubungi oleh reporter pabelan-online.com sangat menyayangkan atas tindakan kekerasan seksual di lingkungan kampus yang tidak bisa ditolerir.
“Tentu nggak bisa dibenarkan ya tindak kekerasan seksual karena itu termasuk kejahatan. Entah itu dari orang berpengaruh atau biasa, based on story banyak orang yang membela pelaku karena tahu identitasnya. Semoga aja kasus seperti ini mulai berkurang dan orang-orang harus sadar,” ucapnya, Sabtu (24/02/2024).
Reporter: Ferisa Salwa Adhisti dan Hikma Agma Titan Shannia
Editor: Bagas Pangestu