Telepon itu berdering lagi untuk kesekian kalinya. Setelah kuabaikan sejak deringan pertama itu berbunyi, akhirnya aku tidak tahan dan memutuskan untuk melihat siapa oknum di balik kebisingan tersebut.
10 panggilan tidak terjawab.
Ah, dengusku pelan ketika mengetahui nama Ibu muncul di atas notifikasi tersebut. Telepon genggam yang baru aku beli tahun lalu tersebut lantas kumatikan, dengan harapan tak ada lagi nada dering yang mengganggu obrolanku dengan rekan kerjaku malam itu.
Kulihat jam di tangan kiriku yang kini jarum pendeknya mengarah ke angka 11, sementara jarum panjangnya bertengger di angka 6. Baru jam segini, pikirku kesal.
Obrolan malam di sebuah restoran terkenal itu kemudian berlanjut hingga pukul satu. Aku lantas berdiri dan memutuskan untuk pulang. Tidak lupa berpamitan kepada semua rekan kerjaku yang tampaknya belum memiliki rencana untuk meninggalkan restoran tersebut.
Ojek online yang telah kupesan sebelum keluar dari restoran itu terlihat sudah menunggu di luar, lengkap dengan jaket hijau dan helm kebanggaannya. Setelah memastikan alamatnya sesuai, motor yang membawaku itu langsung melesat menembus Kota Jakarta yang mulai sepi tak seramai pagi hari membuat hawa dingin menusuk langsung ke dalam kulitku yang hanya terbungkus kemeja serta blazer berwarna ungu.
Ojek online kemudian menurunkanku di depan sebuah rumah berwarna cokelat yang tidak terlalu besar. Aku segera memberikan bayaran sesuai aplikasi, lantas mengucapkan terima kasih seadanya.
“Dari mana saja kamu?” Suara itu menyambutku begitu aku melangkahkan kaki masuk ke rumah.
“Oh, biasa, hanya pesta kecil-kecilan untuk menyambut anak baru di kantor,” kataku mencoba terdengar santai.
“Kenapa telepon ibu tidak kamu angkat?”
Aku memutar bola mataku malas, mencoba mencari alasan agar wanita di depanku tak lagi mencecar dengan berbagai pertanyaan yang mulai terdengar melelahkan.
“Handphone-ku mati, Bu. Aku juga tidak menyalakan nada deringnya,” ucapku berbohong.
“Tapi kan kamu bisa mengabari Ibu sebelumnya, kamu juga tidak harus ikut acara itu sampai larut malam begini, kan? Kamu itu wanita, Maya. Apa tidak takut pulang malam sendirian? Ibu khawatir denganmu,”
“Ya, ya, aku minta maaf,” balasku cepat sambil berlalu ke kamar.
Aku langsung merebahkan badanku di kasur, terlalu lelah bahkan untuk sekadar berganti baju atau menghapus dandananku di hari itu. Pidato panjang ibuku dari luar kamar itu kemudian tak lagi terdengar, bersamaan dengan mataku yang mulai terpejam.
Pagi harinya, seperti biasa aku bersiap untuk pergi ke kantor. Terlihat ibuku yang sedang duduk di ruang tv sambil menyantap bubur yang sepertinya ia beli dari warung sebelah. Wajahnya terlihat sedikit pucat ketika aku berpamitan dengannya.
Aku lalu berjalan kaki menyusuri pinggiran kota Jakarta, menuju tempat pemberhentian bus. Burung-burung terbang dengan bebas di awan, yang entah kenapa membuatku iri. Mereka terlihat seolah sedang mentertawakanku. Gadis yang tahun ini akan genap berusia 30 tahun, tetapi masih selalu dikhawatirkan setiap kali pulang malam oleh ibunya.
Aku tidak mengerti kenapa ibuku selalu bersikap seperti itu, padahal kupikir aku sudah cukup dewasa untuk tidak lagi diteror lewat panggilan yang selalu berdering lebih dari 10 kali.
Sejak aku masih duduk di bangku SMA, ibuku selalu melarangku pergi ke sana dan ke sini. Saat itu, aku masih berusaha memakluminya dengan berpikir mungkin baginya aku belum cukup dewasa. Ditambah lagi, ayahku meninggal saat aku kelas 11, mungkin ibu merasa kesepian karenanya. Namun, sekarang aku sudah bukan gadis belia yang dulu lagi. Aku rasa sudah tidak seharusnya ibuku mengkhawatirkanku secara berlebihan seperti itu. Aku juga ingin bebas seperti teman-temanku, yang tak pernah terganggu oleh bunyi telepon ketika sedang mengobrol dalam suatu acara kantor.
Bahkan salah satu alasan kenapa aku belum menikah walau usiaku terbilang sudah matang adalah karena aku masih ingin merasa bebas, tanpa siapapun yang mengekangku, termasuk ibuku sendiri.
Kegaduhan dalam pikiranku kemudian berhenti ketika bus yang kutunggu telah tiba. Aku mencoba tak memikirkan hal itu lagi dan pergi bekerja dengan hati yang tenang.
Baru saja sampai di kantor, tiba-tiba ponselku berdering.
“Ck, baru juga sampai,”dengusku kesal.
Aku bersiap-siap melontarkan amarah pada ibuku yang mungkin berada di balik suara telepon itu. Namun dugaanku salah. Penelepon itu ternyata Bu Minah, pemilik warung sebelah yang sepertinya ibu temui tadi pagi untuk membeli bubur.
Belum sempat aku mengucapkan halo, suara di seberang telepon itu sudah menyambutku duluan dengan napas yang terengah-engah.
“Maya, ibu kamu meninggal.”
Aku terpaku sejenak, lalu tanpa sadar langsung berlari ke luar tanpa menghiraukan mereka yang terlihat kebingungan dengan sikapku tersebut. Untung saja di depan kantor terdapat satu taksi yang tampaknya tidak sedang memiliki penumpang. Taksi tersebut lalu melaju kencang setelah aku menyebutkan alamat yang akan kutuju.
Sesampainya di rumah, terlihat sudah banyak warga yang berdatangan. Aku menghambur ke arah ibu yang kini berbaring tak berdaya. Untuk sepersekian detik, aku mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba aku ingat wajah pucat ibuku pagi tadi, serta obat-obatan yang sering ia minum pada pagi hari. Aku menangis, mengeluarkan air mata yang membuat warga sekitar merasa iba.
Setelah pemakaman itu selesai, semua warga kembali pulang seolah tak terjadi apa-apa. Ya memang begitulah kehidupan, selalu dinamis dan terus berputar.
Aku kemudian meratapi rumah kosong itu. Sebagian dalam diriku merasa sedih, tapi entah kenapa sebagian lagi merasa bahwa, inilah awal baru hidupku. Berpikir bahwa, mungkin setelah ini tak akan ada lagi panggilan bising yang menyuruhku pulang walaupun baru pukul 10 malam, dan tak ada lagi omelan-omelan panjang ibuku yang memekikkan telinga itu membuatku sedikit tenang.
Dan benar saja, dua hari setelah kejadian itu aku kembali ke kantor seperti biasa. Rekan kerjaku terlihat khawatir dan menyuruhku untuk mengambil cuti selama beberapa hari lagi. Namun aku tersenyum, dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Aku juga tidak mau gajiku dipotong hanya karena cuti yang kuambil terlalu banyak.
Hari-hari berlalu dengan aku yang merasa lebih bebas dari sebelumnya. Hampir setiap hari aku pulang larut malam hanya untuk bertemu teman-temanku, atau mengobrol bersama di sebuah restoran yang sering kami datangi. Kukira kesenangan itu akan bertahan lama, tetapi belum sampai sebulan, nyatanya aku sudah merasa kosong. Rasanya hampa. Setiap kali pulang ke rumah pun hanya sepi yang kudapat. Notifikasi yang biasanya terasa mengganggu itu kini mulai aku rindukan.
Lalu tibalah aku di hari ini, tanggal 20 November. Di hari ulang tahunku yang ke-30 ini, aku mendapat beberapa ucapan selamat dari rekan-rekan kantorku yang entah kenapa tak membuatku bersemangat. Aku juga menerima hadiah kecil yang telah mereka siapkan.
Mereka memintaku untuk merayakan ulang tahun di sebuah restoran mahal, bukan restoran yang biasa kami datangi. Namun entah kenapa hari itu aku tidak mau menghabiskan waktu dengan mereka. Aku hanya ingin segera pulang ke rumah, walaupun aku tahu di sana aku akan sendirian.
Raut mereka terlihat tidak senang akan penolakanku, tetapi aku mencoba untuk tidak memedulikannya dan tetap pulang ke rumah dengan memesan ojek online seperti biasa.
“Aku pulang,” kataku entah pada siapa.
Kutarik kursi di meja makan, lalu menaruh kue ulang tahun yang aku beli di dekat rumah setelah turun dari ojek. Lilin-lilin yang turut aku beli kemudian aku tancapkan asal.
Setelah lilin itu terbakar oleh api, aku memejamkan mata, berniat untuk mengucapkan harapan seperti yang biasa orang lakukan. Alih-alih meminta sesuatu, pikirku justru melayang pada saat ibu masih ada untuk merayakan ulang tahunku. Mataku lalu terbuka. Tanpa sadar, air mata itu kian menitik menuruni pipi.
Bukankah ini yang aku inginkan? Hidup bebas tanpa kekangan ibuku?
Untuk sesaat, aku merasa ibuku ada di situ, duduk di meja yang sama, lantas tersenyum kepadaku. Tangisanku semakin menjadi, meraung-raung bak anak kecil yang kehilangan permen dari genggamannya.
Malam itu, kubiarkan diriku larut dalam kesedihan. Kue ulang tahun yang tadinya tampak lezat itu tak lagi menggiurkan lidah dan perutku. Lilin-lilin yang mulai padam tertiup angin malam dari jendela itu pun seolah menjadi saksi bisu atas penyesalan dan kehilangan yang aku rasakan. Diam-diam, dalam hati aku bergumam, “Bu, ternyata hidup bebas tak semenyenangkan itu.”
Penulis: Rizky Indah Pratiwi
Mahasiswa Aktif Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia
Editor: Ferisa Salwa Adhisti