Perguruan tinggi seharusnya menjadi tempat yang aman, tidak hanya bagi mahasiswa namun, seluruh penduduk kampus. Isu pelecehan seksual dalam beberapa tahun belakang hingga kini, telah menjadi duka.
Pelecehan seksual tidak hanya menimpa korban dari kalangan mahasiswa, melainkan dosen hingga staf. Ironisnya, para korban ini justru seringkali tidak mendapat advokasi yang efektif, baik secara moral maupun prosedural. Budaya patriarki dan pandangan misoginis yang masih mengakar menjadi salah satu faktor penyebabnya.
Objektifikasi tubuh perempuan, pandangan yang merendahkan, hingga rape culture begitu masif. Ketika kemudian terjadi pelecehan seksual, banyak korban perempuan yang justru disalahkan, didiskreditkan, atau bahkan dianggap “mengundang” dengan cara berpakaian dan pergaulan mereka. Anggapan-anggapan seperti ini melukai harkat dan martabat perempuan.
Pengaruh seseorang yang berkedudukan tinggi, seringkali melemahkan korban dengan intimidasi. Itu sebabnya suara korban tertutup, demi menjaga citra institusi sekaligus pelaku agar tidak tercoreng.
Secara moral, civitas academica seharusnya menjamin rasa aman bagi seluruh mahasiswa, dosen, dan staf. Setiap laporan pelecehan seksual harus ditangani dengan penuh perhatian. Perlindungan dan pendampingan yang baik adalah bukti hak-hak korban terpenuhi.
Dari sisi prosedural, hampir semua kampus memiliki pedoman dan mekanisme penanganan kasus pelecehan seksual. Namun, sering kali aturan ini justru tidak dijalankan dengan baik. Sikap seperti ini sangat tidak etis dan menciderai keadilan bagi korban.
Sebaiknya, budaya patriarki dan misoginis ditinggalkan. Terlebih lagi di lingkungan akademis yang menjunjung tinggi kesetaraan dan lingkungan berkembangnya intelektualitas. Advokasi kepada korban pun seharusnya menjadi prosedur yang eksekusinya dilakukan dengan baik.
Mewujudkan lingkungan kampus yang aman, bebas dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan pelecehan merupakan bentuk kewajiban moral yang harus dipenuhi oleh pihak kampus.