UMS, pabelan-online.com – Lulusan Sarjana Gizi memerlukan Surat Tanda Registrasi (STR) untuk menyatakan legalitas dan kompetensi mereka dalam berprofesi. Namun, Program Profesi Gizi di Indonesia saat ini masih terbatas dengan hanya ada sembilan institusi.
Dominikus Aditya Atmaka, Dosen Gizi di Universitas Airlangga (UNAIR) menjelaskan pada reporter pabelan-online.com bahwa, Surat Tanda Registrasi (STR) itu penting dalam profesi Sarjana Gizi dan tidak ada batasan kuota untuk mendapatkan STR. Semua lulusan Sarjana Gizi diperbolehkan untuk mendapatkan STR, namun dengan syarat dan ketentuan tertentu.
“Jadi ada term and condition-nya, mereka harus memiliki nilai hukum yang memadai, mengumpulkan SKP (Sertifikat Kegiatan Profesi – red), atau memenuhi persyaratan lainnya yang ditetapkan. STR tidak hanya formalitas semata, melainkan menjadi ‘paspor’ yang menyatakan legalitas dan kompetensi seseorang dalam berprofesi di bidang Gizi,” jelasnya, Selasa (12/03/2024).
Berkaitan dengan STR ini, ia juga menjelaskan bahwa terdapat regulasi yang ketat untuk menjadi ahli gizi, seperti juga ketentuan untuk profesi dokter dan apoteker. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa orang yang mendapatkan STR benar-benar telah secara profesional mampu menangani pasien dan mengatasi penyakit.
“Adanya regulasi ini menjadi landasan yang penting sebelum seseorang dapat berpraktik secara langsung di masyarakat. Tidak semua lulusan Sarjana Gizi memiliki kompetensi yang sama. Oleh karena itu, standardisasi melalui STR menjadi suatu keharusan untuk memastikan bahwa hanya mereka yang memiliki kualifikasi yang memadai yang dapat berpraktik secara langsung,” ujarnya.
Mengenai Program Profesi Gizi di Indonesia, Aditya memverifikasi bahwa saat ini baru ada sembilan institusi yang membuka program tersebut. Namun, beberapa universitas termasuk UNAIR, sedang mempersiapkan diri untuk membuka program serupa.
“Proses ini memerlukan persiapan yang matang, termasuk keberadaan dosen yang sudah memiliki etika keilmuan, MoU dengan rumah sakit, dan kerjasama yang baik,” ungkapnya.
Aditya menyoroti tantangan terbesar dalam pengembangan Program Profesi Gizi, yaitu perbedaan sumber daya antar universitas. Ia menekankan bahwa, pemerintah harus turun tangan untuk menyelaraskan standar dan melakukan investasi pada sumber daya yang diperlukan.
“Hal ini untuk memastikan kualitas pendidikan bidang Gizi di Indonesia mencapai standar internasional yang diakui,” tutupnya.
Dihubungi oleh reporter pabelan-online.com, Diaz Adyani Sukoco salah satu mahasiswa Program Studi (Prodi) Ilmu Gizi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengungkapkan bahwa, lulusan Strata 1 (S1) Gizi yang ingin mendapatkan STR sangat perlu melanjutkan Pendidikan Profesi.
“Di RS (rumah sakit – red) kan kita merawat orang dimana itu berkaitan dengan nyawa orang kalau misal enggak benar-benar terverifikasi atau tidak betul-betul profesional juga bakal fatal ke depannya. Jadi memang perlu untuk melanjutkan profesi kalau memang ingin bekerja di RS, misalpun tidak kan tidak berkewajiban juga untuk melanjutkan ke profesi ataupun menempuh ujian kompetensi,” ujarnya, Sabtu (09/03/2024).
Ia berharap, agar lebih banyak institusi yang mempunyai Program Profesi terutama universitas yang memiliki program Ilmu Gizi atau Program S1 Gizi. Selain itu, ia juga berharap pemerintah menambahkan periodesasi untuk ujian kompetensi yang bukan syarat STR, namun tetap bisa digunakan agar dapat bekerja di rumah sakit.
“Kalaupun tidak, setidaknya ada jaminan pengganti lain yang nanti kami setelah S1 bisa kerja di ranah kesehatan tentunya. Bukan di lain (industri selain – red) industri kesehatan,” tutupnya.
Reporter: Ferisa Salwa Adhisti dan Nimas Ayu
Editor: Aliffia Khoirinnisa