Menilik dari beberapa sudut pandang, budaya minum di kalangan mahasiswa berpotensi menjerumuskan pada perilaku negatif yang dapat merusak masa depan. Di sisi lain, ada dampak positifnya yakni sebagai sarana mempererat tali persahabatan.
Dua mahasiswa Indonesia yang berasal dari perguruan tinggi berbeda dan seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Jerman memberikan pandangannya tentang fenomena yang kian mengakar ini.
Dihubungi oleh reporter pabelan-online.com mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) berinisial Y yang tidak ingin disebutkan namanya, mengakui bahwa minum bersama teman kampus atau komunitas nongkrong memang lumrah terjadi. Namun, ia mengingatkan pentingnya menjaga batasan agar tidak mengganggu lingkungan sekitar.
“Banyak yang melewati batas seperti minum di area kampus, mabuk berat, hingga merusak fasilitas atau mengganggu orang lain. Hal-hal seperti itu yang seharusnya dihindari,” tuturnya, Senin (18/03/2024).
Sudut pandang lain datang dari Muhammad Pasya, mahasiswa Fakultas Teknik Informatika Sekolah Tinggi Teknologi Terpadu Nurul Fikri Jakarta Selatan. Ia mengungkapkan, awal mula meminum minuman beralkohol didorong oleh adanya rasa penasaran dan ingin merasakan sensasi ‘nge-fly’.
“Saya bukan seorang peminum berat melainkan social drinker (peminum dalam batas wajar – red). Minum hanya sesekali saat sedang berkumpul bersama teman-teman satu komunitas. Tidak sampai berlebihan,” ujarnya, Jum’at (15/03/2024).
Pasya melihat budaya minum berlebihan di kalangan mahasiswa sama sekali tidak membawa dampak positif. Bahkan, ia mengeluarkan kritik pedas terhadap perilaku minum berlebihan tersebut.
“Uang yang seharusnya bisa dipakai untuk keperluan yang lebih bermanfaat, malah dihabiskan untuk mabuk tidak jelas dan membahayakan orang lain di jalan saat berkendara dalam kondisi mabuk” jelasnya.
Di lain kesempatan, reporter pabelan-online.com melakukan wawancara dengan seorang mahasiswa Indonesia jurusan linguistik yang sedang menempuh pendidikan di Jerman. Mahasiswa berinisial H yang tidak ingin disebutkan namanya dengan gamblang mengungkapkan penilaiannya terhadap budaya minum di kalangan mahasiswa.
Menurutnya, budaya minum mahasiswa di Indonesia tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di negara-negara lain. Semakin terbukanya akses untuk mendapatkan minuman beralkohol membuat budaya ini sulit dipisahkan dari pergaulan mahasiswa.
“Kalau dulu mungkin mahasiswa hanya bisa membeli intisari, anggur merah, atau ciu karena keterbatasan tempat. Sekarang mereka sudah memiliki akses untuk membeli bir atau minuman bermerek dengan lebih mudah. Sudah banyak juga tempat yang menyediakannya,” jelasnya, Senin (18/03/2024).
Meski demikian, H mengakui bahwa budaya minum di tiap daerah bisa berbeda sesuai dengan lingkungan setempat. Misalnya, kebiasaan minum mahasiswa di Jakarta mungkin saja berbeda dengan yang terjadi di Bali atau Bandung.
“Minum bersama bisa menjadi sarana pemersatu sekaligus meningkatkan relasi pertemanan. Dulu, tradisi seperti ini lebih sering dilakukan dengan minum kopi bersama. Namun seiring perkembangan zaman, kebiasaan tersebut bergeser menjadi minum bir. Tiap ketemu kenalan biasanya ngebir atau ngopi. Ini kan tempatnya juga sesuai zaman. Banyak kedai kopi yang sudah menyediakan cocktail atau minimal bir,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa jika dilihat dari sisi moral, budaya minum di kalangan mahasiswa sebenarnya cukup mengkhawatirkan. Menurutnya, banyak batasan dan norma yang dilanggar berkaitan dengan budaya tersebut.
“Dampak negatifnya kadang buat mahasiswa ya cuma bablas aja. Itu tadi, yang awalnya jadi pemersatu, tapi karena emotionally unstable (tidak stabil secara emosional – red). Mungkin di tahap lain, udah kelewatan malah jadi coba narkoba deh,” pungkasnya.
Lanjutnya, H menyerukan agar budaya minum di kalangan mahasiswa bisa dijalankan dengan tetap memperhatikan batasan dan norma yang berlaku. Serta mengingatkan agar mahasiswa tidak kehilangan kontrol sehingga bisa terjerumus ke perilaku negatif yang lebih berbahaya.
“Selama tahu batasan, semua enggak masalah kok. Di tempat les Jerman, di Jakarta, Goethe Institute, mereka menyediakan bir kok. Itu padahal sekolah resmi. Harusnya hal-hal semacam ini bisa dicontoh, tapi balik ke masing-masing individu lagi. Mindset kita beda-beda,” tutupnya.
Reporter: Ferisa Salwa Adhisti
Editor: Kania Aulia Nazmah Nabilla