Langkah demi langkah beriringan meninggalkan jejak di lorong-lorong sekolah yang sepi silih berganti datang dan pergi membawa cita-cita sejak pukul tujuh hingga lima sore, bersama dengan bel yang memberi warna pada setiap jam. Riuh obrolan bersahutan menyatu menjadi satu suara, meskipun beberapa di antaranya cukup rendah. Hanya saja, beberapa suara rendah terdengar saat bersamaan, menciptakan satu suara yang cukup keras.
Seorang gadis melirik sepanjang laci meja. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran membuat gadis lain yang duduk di meja guru menjadi kesal. Hampir sepuluh menit sejak bel berbunyi pulang, seharusnya gadis itu sudah tiba di rumah.
“Oh, ayolah, Embun! Aku lapar,” kata gadis yang duduk di meja guru.
“Diamlah, jika tak ingin membantu, atau kau pergi saja,” balas Embun.
Mendengar balasan dari Embun, gadis yang duduk di meja guru berdiri dengan kesal, mendorong meja di depannya. Ia mendekati Embun dan membawanya keluar kelas, untuk pulang. Sebelum mencapai tangga, Embun berhasil melepaskan genggamannya. Ia melotot marah.
Gadis yang dipelototinya berkata, “Ini sudah malam, Embun! Jangan keras kepala, toh Batik tidak peduli,”
Embun hendak membantah, namun langit yang mendung membuatnya menyerah. Embun dan temannya berjalan ke bawah tangga menuju gerbang sekolah dalam diam. Sampai mereka berpisah di gerbang sekolah, hanya tersisa senyum samar di antara mereka.
Embun menoleh ke belakang, mencari punggung temannya yang ia harapkan untuk meminta maaf karena membuatnya menunggu sampai sore hanya untuk mencari barang milik seseorang yang sama sekali tidak mempedulikannya.
Dalam perjalanannya, Embun berpikir mengapa kebanyakan orang yang terpinggirkan kehilangan empati. Meskipun ia sudah menjadi korban, ia membagi perasaannya kepada orang lain. Embun berhenti sejenak, mengusap kepalanya. Ia melihat sepasang kaki yang sudah berumur, dan segera berlalu, mencoba menghindari kejadian yang tidak diinginkan.
Prit prit prit
Bunyi peluit terdengar nyaring, menyusul sorakan yang memenuhi lapangan basket. Suasana kemenangan dan penyesalan bergantian terdengar ketika bola masuk ke salah satu ring. Namun, semangat pertandingan tetap terjaga di antara para pemain. Hanya Embun yang terlihat linglung, tidak yakin kemana harus pergi. Padahal, dia biasanya menjadi pusat perhatian karena keahliannya dalam memainkan bola basket.
Bola kembali masuk ke ring. Sejumlah pendukung bergegas mendekati Embun yang tengah berdiri dengan tatapan kosong.
“Bagaimana, Mbun? Kelas kita kalah lagi!” ujar salah seorang di antara mereka.
Seorang pria dan seorang gadis yang kemarin terlihat marah pada Embun mengaitkan lengan mereka ke bahu Embun.
“Sudahlah, ini hanya olahraga, bukan pertandingan sebenarnya. Kelas kita sudah menang banyak, kan?” kata pria itu.
Embun masih diam, tidak menyadari kehadiran orang-orang yang mengelilinginya. Peluit berbunyi, memecah kerumunan. Embun kembali ke dunianya sendiri, menatap pria di sebelah kirinya, lalu bergeser ke gadis di sebelah kanannya. Tidak lama kemudian, Embun melepaskan kedua lengan yang tergantung di bahunya dan pergi.
“Aku sudah memaafkanmu, Mbun!” teriak gadis yang kemarin marah.
Embun berbalik, “Siapa yang minta maaf? Dasar terong ungu menyebalkan!” katanya.
“Wah, sekarang aku tahu maksud Embun kemarin di kantin saat mengatakan ingin memakan terong ungu. Ternyata itu sebutan baru, terong ungu,” celetuk pria tadi sembari berjalan mendekati Embun.
“Apakah aku terlihat seperti terong? Terong bentuknya seperti apa sih?” tanya gadis yang bernama Ungu sambil berlagak polos.
Embun dan pria tadi tertawa mendengarnya. Lalu Ungu berkata lagi, “Terserahlah, yang penting kamu bisa bicara lagi, Mbun. Sekarang traktir di kantin, yuk!”
Embun memasang wajah masam lagi, lalu pergi tanpa berkata apa-apa. Ungu dan pria tadi mengejar Embun, berjalan di sampingnya. Embun menatap pria itu, pria itu membalas tatapan Embun dengan heran, tanpa bertanya mencoba memahami ekspresi sahabatnya itu, sampai Embun membuka suara.
Saya mengalihbahasakan dan menyunting beberapa bagian dari cerita untuk meningkatkan kelancaran dan kejelasan alur, serta menyesuaikan dialog agar lebih sesuai dengan gaya bahasa sehari-hari. Saya akan melanjutkan untuk mengedit bagian selanjutnya dari naskah cerpen tersebut.
“Pria itu?” Embun menangkap perhatian pria di sampingnya. “Boleh aku tanya?” tanyanya pada pria itu.
Pria itu mengangguk. “Tentu,” jawabnya.
“Jika kamu digigit oleh ular kobra, suatu hari ular itu kesakitan karena digigit oleh buaya, apakah kamu akan membantunya?” tanya Embun.
“Bagaimana jika ular itu menggigitku lagi? Meskipun ular tersebut terluka, ia tetap bisa menyerang. Tapi mungkin aku akan mencoba membawa ular itu ke dokter hewan,” jawab pria itu.
“Kenapa repot-repot membawa ular ke dokter hewan? Bukankah kamu akan marah karena digigit? Lalu, apa yang akan kamu lakukan setelah ular sembuh?” tanya Embun lagi.
Pria itu menghentikan langkahnya, diikuti oleh Embun dan Ungu yang sejak tadi hanya mendengarkan percakapan aneh kedua temannya itu.
Setelah menatap Embun dengan seksama, pria itu menjawab, “Apakah ada sesuatu yang terjadi kemarin? Tentang Batik? Sejak pagi tadi, aku memperhatikanmu, kamu terlihat bingung. Kamu biasanya tidak terlambat menyadari musuh dan membiarkan bola mengenai kepalamu seperti tadi,”
Embun menghela napas panjang.
***
Matahari mulai meredup di barat. Embun mempercepat langkahnya, berlari tanpa memedulikan jantung yang berdebar lebih cepat, nafas yang memendek, dan tubuh yang kedinginan. Ini sudah putaran yang ketiga, namun Embun masih belum menyerah. Akhirnya, seorang pria menyamai langkahnya.
“Jangan pergi sendirian, aku punya banyak waktu hari ini untuk mendengarkan keluh kesah dan amarahmu,” kata pria itu.
Embun tidak menjawab, fokus pada langkahnya. Pria itu berhenti, menahan pergelangan tangan Embun untuk menarik perhatian. Embun hanya diam, menatap trotoar sambil terengah-engah.
“Surya?” tanyanya.
Embun dan pria itu bersama-sama memandang ke arah seorang pria yang Embun kenal, yang ia temui kemarin. Seolah menyadari sesuatu, Embun menatap ke arah pria di sampingnya, bergantian dengan pria yang berdiri di depan mereka. Keduanya memiliki kemiripan, wajah tegas dan tubuh atletis, tapi juga tersirat sorot mata teduh dan senyum ramah yang hangat.
“Surya, berikan Ayah kesempatan untuk…” Ayah Surya tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Embun tiba-tiba ditarik pergi oleh pria yang bagi Embun adalah satu-satunya tempat perlindungan, setelah Ungu dan Ibu. Ayah Surya berlari mengejar. Embun berusaha berhenti, tetapi tak berdaya. Akhirnya, Embun jatuh.
Surya berjongkok di sampingnya. “Ayo, pergi,” ujarnya.
“Sekali saja, maafkanlah seorang Ayah yang berdosa, Surya. Mudah mungkin aku mengatakannya, tapi ketahuilah, jika aku tidak memaafkan Papaku sekarang, aku tidak akan berlari bersamamu karena hidupku sudah berakhir,”
Surya menarik pergelangan tangan Embun lagi dan berkata, “Ayo Embun, please,”
“Seorang anak mungkin bingung dengan apa yang menimpa orang tuanya. Tapi kita hanya patut tahu, tanpa menghilangkan rasa bakti terhadap keduanya, entah yang salah siapa. Duniamu akan kembali damai jika kamu dapat menerima peranmu di dunia ini sebagai putranya, Surya. Semua kenangan dalam ingatanmu memang terjadi di masa lalu, tapi jika Ayahmu ingin memperbaikinya sekarang, apakah kamu tidak memberinya kesempatan untuk memperbaiki? Bayangkan berapa banyak orang yang meminta ampun kepada Tuhan, meski mengulangi kesalahan mereka lagi,” jelas Embun, berusaha membujuk Surya.
Surya tersenyum getir. “Aku bukan Tuhan, Embun! Jangan samakan keadaanmu dengan orang lain. Itu jelas berbeda, karena sudut pandang yang berbeda!” katanya dengan nada marah.
Tatapan Embun yang awalnya berkobar karena akhirnya dapat menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan pada Surya, mulai menghangat. “Fokuslah pada masa kini dan masa depanmu, Surya. Masa lalu adalah ceritamu, jangan biarkan itu merusak masa kini. Ikhlaslah. Jika kamu ingin marah, marahlah. Biarkan semuanya mengalir seperti air,” ujarnya.
Surya menghela nafas kasar, lalu mulai menangis. Embun memeluk Surya, tanpa mempedulikan tatapan orang sekitar. Ayah Surya, yang menyaksikan dari kejauhan, mendekati mereka sambil mengusap kepala putranya. Meskipun penolakan lebih besar daripada cinta Surya dahulu, sebagai seorang ayah, dia tahu dia harus mempertahankan tanggung jawabnya.
Sore itu, Surya, Embun, dan Ayah Surya membiarkan diri mereka basah dalam hujan gerimis yang mengendap pelan-pelan, meresapi kehangatan yang diciptakan oleh sentuhan-sentuhan kebersamaan mereka. Setiap tetes hujan tersebut melarutkan debu dan polusi di jalan, sekaligus kenangan masa lalu. Mereka menyadari bahwa udara segar di pagi hari selalu menanti, membawa kesempatan baru untuk memulai kembali.
Penulis: Aster Chronos
Editor: Aulia Azzahra