UMS, pabelan-online.com – Wacana penggunaan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyelidiki dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu, tuai ragam komentar termasuk akademisi. Langkah ini dinilai sebagai upaya menjaga akuntabilitas dan transparansi dalam proses demokrasi, namun juga memunculkan kekhawatiran akan adanya politisasi dan penyalahgunaan hak tersebut untuk politisasi.
Hak angket merupakan hak konstitusional DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pemilu kali ini, langkah ini dilihat sebagai upaya evaluasi terhadap kebijakan terkait penyelenggaraan pesta demokrasi.
Dihubungi oleh reporter pabelan-online.com Falah Al Ghozali, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), menyatakan sikapnya terhadap hak angket tersebut. “Saya setuju saja jika memang DPR menginginkan menggulirkan hak angket terkait isu pemilu ini, asalkan prosedurnya sesuai,” ungkapnya, Sabtu (16/03/2024).
Falah menjelaskan bahwa, hak angket merupakan upaya DPR untuk melakukan penyelidikan dan mencari tahu persoalan terkait kebijakan yang dibuat pemerintah. Namun, ia menegaskan hasil hak angket nantinya tidak bisa membatalkan keputusan pemilu, karena yang berwenang adalah Mahkamah Konstitusi.
Menurutnya peroses pengajuan hak angket tidaklah mudah. Sesuai Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), setidaknya 25 anggota DPR lebih dari satu fraksi harus menyampaikan usulan dengan dokumen materi, alasan, dan dasar hukum yang kuat. Persetujuan mayoritas anggota DPR dalam sidang paripurna juga menjadi syarat mutlak.
Terkait hak angket DPR terhadap demokrasi sedang baik atau buruk, menurutnya kita memiliki perspektif sendiri untuk menilai apakah demokrasi sedang baik-baik saja atau tidak.
“Maka dari itu, kita kawal demokrasi kita untuk menjadi demokrasi yang tentunya lebih baik lagi ke depan, bukan dengan anarkis saling hujat menghujat antar pendukung, tetapi dengan tertib,” serunya.
Sementara itu, mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB) berinisial E yang tidak ingin disebutkan namanya, mencermati penggunaan hak sebagai langkah yang dapat menjaga akuntabilitas dan transparansi demokrasi. Asalkan dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip hukum dan keadilan.
“Syarat dan prosedur penggunaan hak angket sudah diatur dalam undang-undang seperti UU MD3. Jika dilakukan dengan transparan dan adil, hal ini bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat. Namun jika disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu, justru akan merusak kepercayaan publik,” tegasnya, Senin (19/03/2024).
E mengingatkan pentingnya melibatkan berbagai pihak, seperti pakar hukum, lembaga pemantau pemilu, dan masyarakat sipil dalam proses tersebut. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci agar hak angket benar-benar menjadi alat penegakan demokrasi.
“Jangan sampai hak angket hanya dijadikan kendaraan untuk menyerang lawan politik atau demi kepentingan tertentu. Itu sama saja menodai upaya penegakan demokrasi itu sendiri. Untuk mencegahnya, perlu pengawasan ketat dari berbagai pihak dan penegakan hukum yang tegas jika terjadi pelanggaran,” tuturnya.
Reporter: Syifana Putri Pramesti
Editor: Ferisa Salwa Adhisti