Fenomena Friends With Benerfits (FWB) semakin menjadi di kalangan mahasiswa dan menjadi hal yang lumrah. Seiring berkembangnya zaman dan masuknya budaya-budaya luar ke indonesia menyebabkan mahasiswa kerap kali melakukan hubungan FWB.
Melansir dari Liputan6.com, berdasarkan hasil penelitian dari Reckitt Benckiser Indonesia terhadap 500 responden yang belum menikah di lima kota besar Indonesia. Diketahui 33% remaja pernah melakukan hubungan seksual dan sebanyak 58% mengaku melakukannya pada rentan usia 18 sampai 20 tahun. Data terbaru yang dirilis oleh BKKBN per Agustus 2023 disebutkan bahwa remaja Indonesia telah melakukan hubungan intim di usia 16 sampai 17 tahun sebanyak 60%, 19 sampai 20 tahun sebanyak 20%, dan 14 sampai 15 tahun sebanyak 20%.
Dihubungi reporter pabelan-online.come seorang pelaku FWB bercerita mengenai pengalamannya dalam menjalani hubungan tersebut. MC, salah satu mahasiswa Program Studi (Prodi) Manajemen di salah satu kampus di Indonesia yang tidak ingin disebutkan namanya, mengaku mulai mengenal hubungan seperti ini sejak duduk di bangku SMP.
MC menerangkan awal mula menjalani FWB hanya sekadar menjawab rasa penasaran di tengah pergaulan temannya yang mengaku senang menceritakan pengalaman dalam menjalani FWB. Menurutnya, sebagai seorang laki-laki tentu terasa menguntungkan.
“Kalau menormalisasikan sih ya saya tidak bisa menilai, tapi menurut saya ya sudah hal yang biasa untuk kaum-kaum remaja terlebih mahasiswa seperti kita ini,” tuturnya.
Meskipun MC cukup menikmati hubungan semacam itu, di sisi lain, ia justru mengakui bahwa dirinya merasa terjebak di dalam situasi seperti itu. Lantaran adanya dampak buruk, seperti penyakit dan kehamilan di luar nikah.
Pada beberapa kali kesempatan, MC memiliki keinginan untuk mendokumentasikan kegiatan ranjang bersama partnernya. Namun saat hendak merekam, ia selalu meminta persetujuan terlebih dahulu dari partnernya. Lanjutnya, ia juga menjelaskan bagaimana ia menanggapi apabila skandalnya tersebar dan viral di khalayak ramai.
“Dibilang khawatir ya pasti khawatir, apalagi takutnya menjelekkan nama baik sendiri kan. Tapi ya mau gimana, pasrah aja. Kalau sudah sampai viral di media sosial seperti itu, ya banyak-banyak bertaubat, mungkin dengan cara itu saya bisa melepaskan dari situasi seperti itu,” jelas MC.
Sejauh ia melakukan hubungan ranjang dengan partnernya, MC menyebutkan bahwa dirinya tak pernah menggunakan obat-obatan untuk mencegah terjadinya “kebocoran”. Karena baginya yang masih mahasiswa, membeli obat-obatan memerlukan biaya yang terbilang sangat mahal.
“Jadi berpikirnya saya, ya mau ga mau melakukan cara yang seperti ini. Jujur saya pun merasa kejam, merasa jahat ke partner saya, tapi ya mau bagaimana lagi, jalan satu-satunya melakukannya hal yang seperti itu. Karena itu ya sama-sama mau juga melakukannya, sama-sama bingung mau gimana, beli obat juga mahal, mau minta bantuan ke orang lain juga masih malu,” imbuhnya.
Ia mengatakan orang tuanya kemungkinan tidak mengetahui perihal ini. Sebab dirinya dinilai tidak banyak tingkah di rumah.
“Alhamdulillah belum ketahuan sampai sekarang, ya jangan sampai lah,” tutupnya.
Seorang praktisi Psikologi, Moch. Ilman Fauzi menjelaskan bahwa istilah “FWB” sebenarnya terbilang masih baru. Beda halnya dengan istilah “kumpul kebo” yang terkesan “jadul”.
“Hubungan ini adalah efek perkembangan zaman, dari segi sosial yang berpengaruh ke ranah pergaulan, pola hidup, pengasuhan, bahkan sampai ke istilah,” jelasnya, Rabu (20/03/2024).
Ilman menyebutkan bahwa, FWB didefinisikan sebagai seks bebas yang dilakukan tanpa hubungan. Jika ditinjau secara psikologi, terdapat beberapa efek buruk, seperti munculnya kekhawatiran akan kehamilan dan penyakit seksual, merasa menyesal dan bersalah memengaruhi perkembangan karakter, sulit memiliki hubungan yang serius, depresi, dan kehamilan di usia muda.
“Itu masih efek secara psikologis personal. Perilaku seks bebas dapat memiliki dampak psikologis yang signifikan pada individu, terutama pada mahasiswa. Dampak tersebut dapat berupa isolasi sosial, kehilangan dukungan keluarga, dan bahkan penolakan oleh teman-teman. Hal ini dapat menyebabkan konsekuensi negatif dalam perkembangan sosial individu yang melakukan perilaku tersebut,” imbuh Ilman.
Menurutnya perilaku membenarkan hubungan FWB mungkin memiliki definisi lain. Namun bagi mereka yang membenarkan FWB sebagai hubungan seksual tanpa adanya ikatan jelas merupakan kerusakan moral.
Ia juga menyarankan solusi kepada mahasiswa yang sudah terlanjur terjebak dalam hubungan yang semacam itu, yaitu dengan meninggalkan dan menjauhi hubungan FWB. Karena hal itu mendekati perilaku yang menyimpang. Terlebih lagi, meskipun ada yang mendefinisikan FWB dengan hal yang “baik” menurut individu tersebut.
Di akhir wawancara Ilman berpesan kepada mahasiswa untuk tetap selektif dalam memilih dan menerapkan budaya.
“Tetap ingat tujuan awal dalam menuntut ilmu, tentu tujuannya baik dong, tidak ada yang berangkat dari tempat asal merantau untuk melakukan hal yang sia-sia apalagi sampai merugikan,” tutupnya.
Iman Syahputra, mahasiswa UMS, menanggapi bahwa hubungan semacam FWB itu tidak baik, dan tidak membenarkan akan hal itu. Sebab, ia menilai tidak adanya kepastian dalam FWB, sedangkan ebanyakan yang diuntungkan adalah laki-laki, dan pihak perempuan lah yang biasanya menuntut kepastian dalam hubungan semacam ini.
“Saya pribadi nggak support, walaupun saya sebagai laki-laki, ya kasian kalau nggak diberi kepastian,” tegas Iman, Rabu (20/03/2024).
Reporter: Rafikhansa Dzaky dan Muhammad Farhan
Editor: Ferisa Salwa Adhisti