Betapa merdunya titah kepatuhan kepada mereka yang menginjak-injak kesetaraan? Dapatkah kita benar-benar merasakan kehangatan di masyarakat jika bisikan-bisikan lembut itu adalah rantai yang mengekang? Bagaimana mungkin seorang wanita yang tawa cerianya harus terkubur dibalik tirai kesopanan yang kaku, hanya karena dia ingin dianggap ‘layak’ di mata yang lebih kuat?
Kartini yang dikenal sebagai pejuang kebebasan dan kesetaraan, yang gagah berani menggugat feodalisme dengan pena dan pikirannya, telah menyaksikan derita ini. Berkiblat pada buku yang ditulis olehnya berjudul door duisternis toot licht, melalui kegelapan menuju Cahaya—Bagaimana Kartini sebenarnya menemukan cahaya islam.
Buku itu menceritakan bagaimana kartini yang terpenjara oleh adat kebudayaan dimana seorang wanita tidak bisa menentukan dan mewujudkan keinginannya sendiri. Hal itu membuatnya geram. Ia terkurung secara hak, tapi tidak dengan pikiran dan jiwanya. Ia berkelana dan berguru pada buku-buku yang dibacanya.
Lalu terdapat beberapa keresahan yang muncul, melihat transformasi zaman di masa sekarang. Adakah kita, yang meneruskan perjuangan dengan suara kita sendiri, merasa hawa dingin ketidakadilan yang pernah Kartini rasakan? Apakah kita juga berani melihat lebih jauh dari halaman-halaman hidup kita sendiri untuk menilai dengan tepat tata hidup yang seharusnya kita perjuangkan?
Kesetaraan gender merupakan prinsip fundamental yang telah lama menjadi fokus perjuangan. Berangkat dari keresahan perempuan yang hanya berfungsi sebagai pendamping seorang laki-laki dan melahirkan anak untuk melanjutkan keturunan. Melihat jauh perjuangan Kartini, ia berhasil merubah perspektif di Indonesia sendiri bahwa perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki, bahkan bisa melampaui hal tersebut. Walaupun telah tercapai beberapa kemajuan, tantangan kesetaraan gender masih tersisa dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari di pergempuran transformasi zaman saat ini.
Terutama di Indonesia yang masih menjunjung tinggi budaya patriarki, sebab esensi budaya ketimuran adalah patriarki yang kuat. Beda dengan barat yang saat ini telah menghilangkan patriarki. Ketika seorang perempuan ingin memilih keinginannya dan mengupayakan cita-citanya, dianggap melenceng dari tradisi. Stigma sebagian masyarakat patriarki, memperparah kesuksesan seorang perempuan dianggap sebagai keegoisan. Sehingga perempuan akan diberi label negatif, padahal kesuksesannya menguntungkan banyak pihak.
Perlakuan yang berbeda kerap kali didapatkan oleh perempuan. Laki – laki yang telah mencapai ambisinya akan diapresiasi, sedangkan perempuan akan banyak yang mencibir. Sehingga banyak perempuan yang kehilangan makna untuk berkualitas karena selalu diharuskan untuk memilih sesuai kemauan mereka yang patriarki, sekaligus untuk diterima dan dianggap layak.
Padahal kesadaran akan diri sendiri dan memahami kemauan untuk diperjuangkan, merupakan hak setiap manusia. Lalu, kapan perempuan akan dibebaskan untuk memilih dan bergerak di ruang ambisi mereka, tanpa dianggap tercela? Seolah menjadi ibu rumah tangga merupakan sebuah kemenangan bagi perempuan, daripada menggapai cita-cita yang dianggap melampaui kodrat.
Di persimpangan sejarah dan zaman modern, perjuangan kesetaraan gender yang dikobarkan oleh Kartini masih belum menemukan titik terang. Memang, telah ada kemajuan, namun jalan menuju kesetaraan gender tanpa dibatasi, masih menjadi tantangan dan perjalanan yang panjang, terutama di Indonesia di mana patriarki masih merajalela. Termasuk kehidupan seorang mahasiswi yang mengemban ilmu di perguruan tinggi, yang seringkali mengalami stigma dan batasan dalam mengejar ambisi dan kebebasan pribadi.
Mahasiswi seharusnya dapat mengejar pendidikan dan karir tanpa dibebani oleh stereotip gender yang ketinggalan zaman. Mereka harus bebas untuk memilih jurusan dan karir apa pun yang mereka inginkan, tanpa dibatasi oleh pandangan bahwa beberapa bidang adalah ‘tidak sesuai’ untuk perempuan. Karena kemampuan intelektual tidak ditentukan oleh jenis kelamin.
Selain itu, mahasiswi juga boleh mendapatkan kesempatan yang sama dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan di lingkungan kampus. Mereka harus didorong dan didukung untuk mengambil peran aktif dalam organisasi mahasiswa, penelitian, dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Hal ini akan menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa perempuan mampu dan layak menduduki posisi-posisi penting.
Dalam konteks sosial, mahasiswi juga harus bebas dari tekanan untuk memenuhi peran gender tradisional yang mungkin menghambat mereka dalam mengejar ambisi pribadi. Misalnya, tekanan untuk menikah dan memiliki anak pada usia muda seringkali menjadi penghalang bagi perempuan untuk melanjutkan pendidikan atau karir mereka.
Penting bagi semua pihak, termasuk lembaga pendidikan, pemerintah, dan masyarakat, untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kesetaraan gender. Ini termasuk menghapuskan stereotip gender, memberikan dukungan dan sumber daya yang diperlukan, dan menghargai kontribusi mahasiswi dalam semua bidang.
Kesetaraan gender bukan hanya tentang memberikan kesempatan yang sama, tetapi juga tentang menghormati pilihan setiap individu tanpa prasangka. Setiap perempuan memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa takut ambisinya dikebiri. Namun dengan fondasi kesetaraan gender, jangan sampai sebagai seorang perempuan kehilangan etika dan moralitas bermasyarakat.
Teruslah bermartabat dan menjadi berkualitas dengan memancarkan kepercayaan diri yang kuat. Dengan tulisan ini harapannya seorang perempuan tidak lagi takut untuk dihakimi keinginannya, dan berjalan dengan gagah memperjuangkan cita-citanya.
Penulis: Estelle Ran
Editor: Aulia Azzahra