UMS, pabelan-online.com – Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin telah memasuki tahun terakhir dengan berbagai kebijakan di bidang pendidikan yang telah dijalankan. Namun masih banyak Pekerjaan Rumah (PR) yang harus diselesaikan hingga tuai tanggapan mahasiswa.
Dihubungi reporter pabelan-online.com, Tegar Dwi Prianggoro mahasiswa aktivis Program Studi (Prodi) Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), mengapresiasi komitmen Pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin dalam memperluas akses pendidikan melalui program Kurikulum Merdeka.
“Saya melihat secara subjektif, Kurikulum Merdeka memang selaras dengan kebutuhan pasar kerja. Tetapi di sisi lain, kebijakan ini berpotensi mendorong para intelektual muda meninggalkan ‘laboratorium pengetahuan’ mereka, yaitu mulai ditinggalkannya organisasi,” tuturnya.
Ia menilai program tersebut telah berorientasi pada kebutuhan dunia kerja. Namun di sisi lain, Tegar mengkhawatirkan kebijakan ini mendorong para intelektual muda mengabaikan tugas utamanya sebagai agen perubahan di masyarakat.
“Ada kekhawatiran para mahasiswa hanya fokus magang dan meninggalkan peran intelektual mereka di masyarakat sebagaimana diidealkan Antonio Gramsci, yang menjelaskan intelektual organik itu seharusnya membangun ekosistem di masyarakat secara gagasan dan secara pengetahuan. Karena sudah seharusnya seorang intelektual bermanfaat bagi masyarakat dan mampu menjadi problem solving,” lanjut Tegar.
Ia juga mengkritik sejumlah kebijakan pendidikan yang dinilai belum efektif. Salah satunya adalah mekanisme pembelajaran dalam jaringan (daring) yang kerap dilakukan tanpa parameter dan ukuran keberhasilan yang jelas serta biaya pendidikan yang dirasa membatasi masyarakat kurang mampu untuk bisa bersekolah.
Selain itu, kebijakan lain yang menuai sorotan adalah sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan skema zonasi. Menurutnya, kebijakan ini bermasalah terutama di daerah dengan minimnya ketersediaan sekolah negeri.
“Tarif atau dana pendidikan sampai saat ini masih cenderung mahal dan eksklusif. Hal ini akhirnya melahirkan keterbatasan akses bagi mereka yang memiliki minat tinggi untuk berpendidikan,” keluhnya.
Tegar mengamati, kondisi ini diperparah dengan komersialisasi pendidikan tinggi yang lebih mengutamakan peningkatan akreditasi dan fasilitas kampus ketimbang mencetak intelektual organik yang bermanfaat bagi masyarakat.
“Orientasi kampus akhirnya berlomba-lomba menaikkan akreditas dan meng-upgrade fasilitas, hingga melupakan tugasnya mencetak intelektual-intelektual organik yang bermanfaat untuk masyarakat. Mahasiswa kini dianggap sebagai konsumen, bukan lagi sebagai pelajar yang seharusnya dibentuk secara otonom dan mampu merumuskan serta menyelesaikan masalah di masyarakat,” ungkapnya.
Untuk mengatasi permasalahan akses dan pemerataan pendidikan, Tegar mengusulkan perlunya pendidikan alternatif seperti sekolah jalanan, perpustakaan jalanan, dan diskusi publik yang inklusif serta tidak berbayar. Dengan demikian, pemerataan gagasan dan pengetahuan di masyarakat dapat tercapai secara lebih adil.
“Kita butuh pendidikan alternatif yang terjangkau dan merangkul semua kalangan. Targetnya adalah mewujudkan pemerataan pengetahuan di masyarakat secara berkeadilan,” pungkasnya.
Tegar mencontohkan beberapa inisiatif pendidikan alternatif yang telah berjalan di Yogyakarta, seperti Sanggar Anak Alam yang menyelenggarakan sekolah tanpa biaya. Ia juga berharap, gerakan serupa dapat didukung dan dikembangkan di seluruh wilayah Indonesia.
“Pendidikan alternatif bisa menjadi solusi akses pendidikan bagi mereka yang terpinggirkan oleh sistem pendidikan formal. Ini membutuhkan sinergi dan gotong royong dari semua lapisan masyarakat agar bisa terwujud dan berkelanjutan,” tutupnya.
Sementara itu, Satrya Dilan mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan UMY turut menyampaikan pendapatnya bahwa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 20% untuk pendidikan seharusnya dapat dimanfaatkan secara efektif untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. Melalui dana tersebut, pemerintah seharusnya dapat meningkatkan kualitas pendidikan secara merata di seluruh Indonesia.
“Pemanfaatan dana dan upaya peningkatan tersebut dapat dilakukan dengan pembacaan secara mendasar tentang permasalahan pendidikan yang hari ini masih terus berlangsung,” ujar Satrya, Kamis (04/04/2024).
Reporter: Ferisa Salwa Adhisti
Editor: Aulia Azzahra