Pemerintah telah mengingkari amanat UUD 1945 yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Biaya pendidikan semakin meningkat, alih-alih memberikan keringanan, pemerintah justru menawarkan solusi semu dengan membebani mahasiswa dengan skema pinjaman mahasiswa (student loan).
Dalam editorial dan headline penerbitan akhir bulan lalu, membahas secara normatif terkait implikasi yang akan terjadi jika skema student loan diberlakukan. Maka, dalam tulisan ini saya mengajak mahasiswa untuk menentukan sikap, yaitu menolak skema student loan.
Pada akhir bulan Januari lalu, Sri Mulyani mengungkapkan sedang merancang skema student loan bersama Dewan Pengawas Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Sri Mulyani menuturkan konsep student loan di Indonesia akan menyasar mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi dalam membayar biaya kuliah.
Awal wacana student loan tersebut bermula saat Presiden Jokowi dalam sebuah rapat bersama petinggi perbankan di Istana Negara, mengusulkan agar bank-bank memberikan pinjaman biaya pendidikan untuk para mahasiswa.
Jokowi mewacanakan student loan berdasarkan pengalaman di Amerika Serikat (AS). Dia menyebutkan nilai nominal outstanding atau realisasi pembiayaan kredit pendidikan di Amerika Serikat telah melampaui total outstanding pinjaman kartu kredit.
Padahal jika kita melihat Amerika Serikat, student loan adalah persoalan yang sangat problematik. Berdasarkan riset yang dikeluarkan oleh Federal Reserve Bank of Philadelphia, 56% dari warga Amerika Serikat yang gagal bayar pada bulan Oktober 2023 mengaku tidak mampu menanggung pembayaran.
Bahkan mantan Presiden AS Barack Obama dan Ibu Negara Amerika Serikat Michelle Obama baru menyelesaikan student loan mereka di usia 42 dan 40 tahun. Jika pejabat elit saja baru bisa melunasi student loan di usia 40-an, apalagi masyarakat biasa.
Lebih jauh lagi, menurut riset yang dilakukan oleh E. Berman dan A. Striver, student loan menjadi penyebab meningkatnya biaya pendidikan. Skema student loan, di mana pemerintah federal AS menalangi biaya pendidikan di muka dan mahasiswa peminjam menyicilnya belakangan, membuat institusi pendidikan di AS meningkatkan biaya pendidikannya secara leluasa karena seberapa mahal pun biaya pendidikan akan dapat dibayar di awal oleh pemerintah Federal AS dengan dukungan finansial yang kuat.
Jika kita kembali lagi dalam persoalan Indonesia, maka apakah student loan yang demikian yang diharapkan oleh Jokowi, mengingat sasaran utama dari student loan menurut Sri Mulyani adalah mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi dalam membayar kuliah.
Dengan tingkat pengangguran terbuka lulusan Sarjana sebesar 753.732 orang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2023, angka yang mengalami peningkatan sejumlah seratus ribu orang dari Agustus tahun 2022, maka dengan ketidakpastian lapangan pekerjaan bagi para lulusan sarjana, student loan dapat menjadi perangkap utang bagi para lulusannya.
Pada Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Maka, jaminan negara atas hak pendidikan setiap warganya merupakan upaya untuk mencapai tujuan negara, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan suatu tugas publik sebagai bagian dari tanggung jawab terhadap warganya, maka negara harus memastikan setiap warganya mendapatkan akses yang penuh terhadap pendidikan.
Hak asasi manusia melindungi orang dari penyalahgunaan kekuasaan pemerintah, menurut Katarina Tomasevski, mantan Pelapor Khusus PBB di bidang hak atas pendidikan. Hak pendidikan menghalangi seseorang dari kesempatan kerja, marginalisasi ke sektor informal, dan banyak lagi.
Karena pendidikan merupakan hak asasi manusia, negara memiliki kewajiban untuk menghormati dan memenuhi hak tersebut. Namun, yang terjadi saat ini, alih-alih terjangkau, biaya pendidikan justru semakin mahal. Alih-alih diberi keringanan biaya, mahasiswa malah diarahkan mengakses pinjaman online dan ke depan dengan skema student loan.
Penulis: Muhammad Alief Abdussalam mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta fakultas Agama Islam jurusan Ilmu Qur’an dan Tafsir
Editor: Ferisa Salwa Adhisti