UMS, pabelan-online.com – Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Dewan Pers dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dinilai belum dapat menjadi payung hukum yang kuat bagi aktivitas jurnalistik pers mahasiswa. Meski tidak mengikat secara hukum, PKS ini diharapkan dapat melindungi pers mahasiswa dari tindakan represif kampus saat melakukan kritik sosial.
Disadari atau tidak, mayoritas wartawan di Indonesia saat ini sekitar 60-70% memiliki latar belakang aktivis pers mahasiswa. Hal ini diungkapkan oleh Arif Zulkifli dari Dewan Pers berdasarkan pengamatannya selama 25 tahun di dunia kewartawanan.
Fakta ini menunjukkan peran penting pers mahasiswa sebagai sarana pembelajaran sekaligus pencetak insan pers di masa depan. Namun dalam perjalanannya, aktivitas pers mahasiswa ini kerap menemui jalan buntu karena ketiadaan payung hukum yang jelas melindungi mereka.
Pada diskusi yang diadakan secara daring oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) bersama Dewan Pers RI pada Sabtu 27 April 2024, membahas perjanjian kerjasama antara Dewan Pers dengan Kemendikbudristek yang didalamnya memuat tentang Penguatan dan Perlindungan Aktivitas Jurnalistik Mahasiswa di Lingkungan Kampus.
Noval Kusuma perwakilan PPMI Kota Tulungagung menyoroti bahwa Memorandum of Understanding (MoU) atau perjanjian kerjasama tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga hukum pers mahasiswa tidak diakui dalam sistem hukum perjanjian di Indonesia.
“MoU ini bukanlah sebuah produk hukum. Dalam kesimpulannya tentang kekuatan hukum, tidak dijelaskan terkait MoU itu seperti apa,” ujar Noval pembicara pembuka diskusi, Sabtu (27/04/2024).
Arif Zulkifli selaku Anggota Dewan Pers dan Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan pun mengakui bahwa perjanjian tersebut memang tidak mengikat secara hukum. Namun ia mengklarifikasi bahwa sebenarnya bentuk perjanjian yang diteken (pembubuhan tanda tangan -red) bukanlah MoU, melainkan PKS.
“Ini lebih rendah levelnya dari MoU. MoU mestinya dilakukan antara pimpinan dua lembaga, dalam hal ini Ketua Dewan Pers dan Menteri. Sedangkan PKS ini dilakukan dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di bawah Kemendikbudristek,” jelasnya, Sabtu (27/04/2024).
Arif menurutkan bahwa, PKS dinilai tetap memberi harapan bagi perlindungan aktivis pers mahasiswa. Pasalnya, dengan adanya PKS ini diharapkan pihak kampus tidak lagi bertindak represif dan melaporkan kasus pemberitaan pers mahasiswa ke jalur hukum.
“Dengan PKS ini diharapkan kampus tidak main lapor ke polisi atas pemberitaan di pers mahasiswa yang mereka anggap buruk atau merugikan. Dewan Pers diizinkan masuk dan memeriksa secara etik, lalu kemudian merekomendasikan penyelesaian etik,” terangnya.
Selama ini aktivis pers mahasiswa kerap mengalami persoalan hukum ketika melakukan kritik sosial terhadap kampusnya. Arif menyebut beberapa kasus seperti di Maluku dan daerah lain, di mana aktivis pers mahasiswa harus berhadapan dengan jeratan hukum karena kritiknya dianggap sebagai pencemaran nama baik hingga tindak pidana lain di luar undang-undang pers.
“Mereka ditangkap, ada yang tidak bisa skripsi, bahkan ada yang sampai ke pengadilan. Padahal mereka menjalankan fungsi pers melakukan kritik sosial. Tapi kritik itu dianggap sebagai pencemaran nama baik, bukan kritik,” ungkapnya.
Melihat pengalaman tersebut, Arif mengakui solusi PKS ini bukan jalan yang mudah. Sebab, di satu sisi pers mahasiswa ingin kebebasannya dijamin. Namun, di sisi lain ada persoalan etika yang juga mesti diperhatikan agar karya jurnalistiknya tidak mudah dipermasalahkan.
Arif memaparkan sejumlah etika jurnalistik yang kerap diabaikan oleh aktivis pers mahasiswa, mulai dari sumber berita yang tidak cukup, melakukan wawancara konfirmasi kepada pihak-pihak terkait, hingga cara penyajian informasi yang berpotensi menyalahkan korban atau cenderung vulgar.
“Misalnya dalam kasus kekerasan seksual, pers mahasiswa tidak boleh melakukan wawancara kepada korban, tetapi kepada pendamping atau pihak kedua. Ini membuat kualitas pemberitaan turun,” paparnya.
Ia menekankan pentingnya peningkatan kapasitas pers mahasiswa dalam menerapkan etika jurnalistik agar karya-karya mereka tidak mudah dipermasalahkan secara etik.
“Pengetahuan etiknya masih harus diperbaiki, teknik liputannya masih diperbaiki, teknik menyampaikan informasi masih diperbaiki. Supaya tidak ada ruang bagi mereka yang keberatan mempersoalkan karya jurnalistik pers mahasiswa secara etik. Overboard fact-nya (fakta yang berlebihan -red) jalan, check and recheck-nya jalan,” tuturnya.
Kendati langkah awal berupa PKS ini dinilai masih jauh dari ideal, namun Dewan Pers masih terus berupaya mewujudkan payung hukum yang lebih kuat. Lanjutnya ia menyebutkan, mereka berencana kembali merintis MoU dengan instansi lain seperti Kementerian Agama yang juga memiliki perguruan tinggi negeri di bawah naungannya.
“Mudah-mudahan juga bisa cepat selesai, minimal sebelum ganti pengurus Dewan Pers akhir tahun ini. PKS sejenis juga akan kita garap dengan kementerian lain seperti Kemenag yang punya kampus-kampus,” ungkapnya, Sabtu (27/04/2024).
Dihubungi reporter pabelan-online.com Alfi Miftachul Firdaus dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Situs menyampaikan betapa pentingnya adanya payung hukum yang jelas untuk melindungi kegiatan jurnalistik pers mahasiswa.
“Sangat penting. Selama ini persma melakukan kerja-kerja jurnalistiknya tanpa ada perlindungan yang jelas. Sebagaimana seorang jurnalis dan sebuah media pers, resiko terkena represi pasti ada, sengketa pers pun demikian. Tidak bisa dihindarkan. Namun untuk pers umum (media pers berbadan hukum) sudah dilindungi UU No. 40 Tahun 1999, sementara untuk persma, belum ada,” ujarnya, Selasa (30/04/2024).
Mengenai PKS antara Dewan Pers dan Kemendikbudristek yang tidak memiliki implikasi hukum yang mengikat, Alfi menyebut PKS ini hanya langkah awal.
“Sesuai dengan Pasal 4 di dalam PKS yang menyatakan bahwa perjanjian kerja sama ini bakalan ada tindak lanjutnya. Itu yang harus dikawal,” jelasnya.
Harapannya, Alfi menginginkan adanya kejelasan aturan yang membahas persma secara komprehensif terutama soal penyelesaian sengketa pers.
“Setelah ini tidak ada lagi pembredelan persma atau tindakan semacamnya,” tutupnya.
Reporter: Ferisa Salwa Adhisti
Editor: Kania Aulia Nazmah Nabilla