Polemik seputar Bantuan Biaya Hidup (BBH) dalam program Kampus Mengajar mengungkap banyak persoalan mendasar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Selain tersingkapnya praktik komersialisasi, kasus ini juga menyoroti permasalahan terkait peran mahasiswa sebagai intelektual organik di masyarakat.
Dalam konsepsi Antonio Gramsci, kaum intelektual organik adalah kelompok intelektual yang terlibat langsung dan menyatu dengan kelas sosial tertentu. Mereka tidak hanya mengembangkan pemikiran, tetapi juga terlibat dalam perjuangan transformasi sosial untuk membebaskan masyarakat dari penindasan.
Mahasiswa dengan bekal ilmu pengetahuan yang dimilikinya, seharusnya memerankan diri sebagai intelektual organik di tengah masyarakat. Melalui program Kampus Mengajar ini, mereka sebenarnya diharapkan dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat khususnya di lingkungan sekolah.
Akan tetapi, realitas yang terjadi justru sebaliknya. Mahasiswa peserta Kampus Mengajar diperlakukan secara tidak adil oleh penyelenggara program. Tidak adanya transparansi terkait dana yang seharusnya diterima, potongan dana yang menjadi hak mereka setelah melakukan pengabdian dan tidak dilibatkannya dalam proses pengambilan keputusan terkait hal itu.
Sikap penyelenggara yang demikian tentu saja menghalangi mahasiswa untuk benar-benar memainkan perannya. Sebagai peserta program yang mengabdi, mereka justru dijadikan objek komersialisasi pendidikan. Kenapa bisa demikian?
Birokrasi pemerintahan yang kaku dan tidak fleksibel, sehingga melahirkan kebijakan sepihak, kurangnya transparansi, dan sikap otoriter yang menghambat demokratisasi serta pemberdayaan mahasiswa. Bahkan, mahasiswa dipandang secara konvensional sebagai obyek pasif yang dapat diperlakukan secara eksploitatif.
Mahasiswa justru diperdaya oleh sistem pendidikan yang ada. Sebagaimana konsep pendidikan gaya bank yang dikritik Paulo Freire, siswa atau mahasiswa hanya dianggap sebagai wadah kosong yang harus diisi dengan muatan pengetahuan dari guru atau dosen. Proses belajar mengajar berjalan searah tanpa dialog. Siswa/mahasiswa hanya diminta mengikuti instruksi guru atau dosen tanpa diberikan kesempatan berpikir kritis dan berkeputusan secara independen.
Sudah saatnya paradigma pendidikan di Indonesia diubah agar mahasiswa yang menempuh pendidikan mendapatkan haknya secara berpikir, bertindak dan memutuskan. Dengan cara itu, baik kampus maupun program-program seperti Kampus Mengajar dapat mengevaluasi lagi sistem yang dibentuk. Seharusnya program ini disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa bukan untuk kebutuhan seseorang di luar kepentingan tersebut.