UMS, Pabelan-online.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Solo bersama organisasi jurnalis lainnya menggelar aksi demo gagalkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran di depan Plaza Manahan pada 21 Mei 2024. Aksi tersebut juga dihadiri sejumlah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) se-Solo Raya.
AJI Solo beserta beberapa aliansi jurnalis lainnya melakukan seruan aksi yang menuntut RUU Penyiaran untuk digagalkan. Seruan aksi ini dimulai pada pukul 16.00 WIB di Plaza Manahan dengan diikuti oleh teatrikal dari beberapa wartawan yang menggambarkan peran pers yang terbungkam dan terborgol.
Peserta aksi melakukan orasi dengan membawa sejumlah spanduk untuk menolak RUU Penyiaran. Sejumlah wartawan juga turut membungkam mulut mereka menggunakan lakban hitam. Tak hanya itu aksi ini juga melibatkan Peri Sandi yang turut menyumbangkan puisinya.
Dalam wawancara bersama reporter Pabelan-online.com, Mariana Ricky selaku Ketua AJI Kota Solo mengatakan, bahwa aksi tersebut merupakan aksi bersama sejumlah organisasi, jurnalis, termasuk LPM se-Solo Raya. Menurut pengakuannya, persiapan aksi tersebut telah digaungkan sejak April lalu, setelah draf RUU Penyiaran dibahas mulai Maret silam, sementara pihaknya tak pernah dilibatkan.
“Sering banget kita tidak dilibatkan, tukar pendapat nggak ada. Tiba-tiba draf revisi itu sudah beredar. Ada poin-poin yang isinya itu sangat problematik, ada lima yang bagi kami perlu dianalisis kritis,” jelasnya, Selasa (21/05/2024).
Mariana menuturkan perihal adanya ancaman kebebasan pers, pembungkaman kebebasan berekspresi bagi para konten kreator, penganut LGBT, Queer (Organisasi yang menaungi LGBT), dan lain-lain. Selain itu, dalam UU tersebut juga terdapat kebijakan kepemilikan lembaga penyiaran yang nantinya hanya akan dapat dimiliki oleh kalangan konglomerat saja, bukan dari komunitas apalagi perseorangan.
“Meskipun itu memang harus diatur, kalau memang hanya dimiliki oleh konglomerat dan oligarki bisnis. Kan, ya itu adalah frekuensi publik gitu dan seharusnya ga ada,” ucapnya.
Ia juga menyoroti soal pasal-pasal dalam Undang-Undang (UU) tersebut, yang nantinya juga dapat menjerat konten kreator, atau siapapun yang mempunyai media sendiri. Sehingga, hal itu dapat dikenai pasal berita palsu, lantaran dituding menyebarkan berita bohong oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), karena KPI menjadi lembaga yang tidak diawasi.
Melalui aksi itu, pihaknya berharap agar pasal-pasal problematik tersebut digagalkan.
“Kalaupun tidak dibatalkan, paling tidak pembahasan mengenai RUU Penyiaran itu ditunda dan harus menyertakan publik pada saat dengan pendapat dan penyusunannya,” tegas Mariana.
Namun, Mariana sendiri tidak yakin dengan harapan itu, mengingat sebagaimana yang terjadi pada pengesahan Omnibus Law secara tiba-tiba disahkan pada 2020 lalu.
“Sekarang, kan, gerakannya masif, kita pantau sampai tanggal 23 rapat paripurna nanti, kita calm (tenang – red) dulu. Baru nanti tiba-tiba digolkan diem-diem seperti yang terjadi pada Omnibus Law,” keluhnya.
Surya Agritama, mahasiswa Ilmu Komunikasi UMS, mengungkapkan kekagumannya kepada para rekan pers yang memperjuangkan hak kebebasan berekspresi. Menurutnya, sikap mahasiswa yang semestinya adalah paham akan peran mereka masing-masing di masyarakat.
“Tentunya dengan kita peduli dengan apa yang terjadi di negara ini, kita harusnya peduli dan mengambil sikap dengan cara melakukan penjelasan kepada mereka yang merasa dirugikan, yang tidak dapat berbuat apa-apa. Kita mewakili, dari dulu sampai sekarang mahasiswa selalu mewarnai,” ucap Surya, Selasa (21/05/2024).
Surya juga menekankan, bahwa mahasiswa seharusnya tidak boleh apatis terhadap aksi seperti ini.
“Sangat disayangkan ketika dapat diberi kesempatan untuk berkuliah, di mana kuliah adalah ajang untuk berekspresi dengan bebas. Tapi malah tidak peduli,” ujarnya.
Ia menambahkan bagaimana UU tersebut dapat mengancam demokrasi serta kebebasan berekspresi semua masyarakat Indonesia dan tentunya akan sangat mengganggu alur informasi yang dibawakan oleh para jurnalis. Lanjutnya, wartawan yang selalu menggaungkan kebenaran itu akan dibatasi kemudian menjadikan rakyat yang hanya bisa dibodohi oleh para penguasa.
“Semoga dari pemerintah dan pihak yang bersangkutan sadar dan berpikir kembali akan buruknya RUU yang telah mereka rancang,” harapnya.
Reporter: Muhammad Farhan
Editor: Kania Aulia Nazmah Nabilla