UMS, Pabelan-online.com – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Brawijaya (UB) Malang mengirimkan surat protes kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim terkait kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di kampus. Naiknya UKT tersebut dinilai mempersulit mahasiswa yang terbatas oleh finansial.
Melansir dari CNNIndonesia.com pada tahun ini, terjadi kenaikan sebesar empat golongan dari tahun sebelumnya, yaitu dari 8 golongan yang terbesar di tahun 2023 menjadi 12 golongan yang terbesar di tahun 2024.
“Surat terbuka dan raket pingpong adalah bentuk sarkasme yang melabelkan pemerintah dan kampus sedang melakukan politik pingpong nasib anak bangsa,” ujar Presiden BEM UB Satria Naufal melalui keterangannya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (24/05/2024).
Satria mengatakan, surat ini mereka kirim tepat setelah mahasiswa melakukan demonstrasi kepada Rektorat UB tentang kenaikan UKT, beberapa hari lalu. Penetapan golongan UKT di UB ditetapkan Melalui Peraturan Rektor Universitas Brawijaya Nomor 37 Tahun 2024.
“Hal ini menjadi keresahan bagi mahasiswa baru yong berharap agar dapat berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN),” ucapnya.
Dihubungi reporter Pabelan-online.com, Rifqi Almuiz mahasiswa aktivis sekaligus mahasiswa Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UMS, menilai tindakan tersebut merupakan hal yang seharusnya disuarakan melalui aspirasi mahasiswa yang terdampak kebijakan kenaikan UKT.
Rifky menyoroti suara mahasiswa saat ini wajib didengar oleh pihak kampus dan pemerintah. Ia mengusulkan agar pemerintah mengadakan ruang diskusi secara terbuka dengan perwakilan mahasiswa dan rektor terkait kebijakan di dunia kampus.
“Seharusnya sekelas UB yang menjadi salah satu kampus impian bagi para pelajar, tidak melakukan kenaikan UKT secepat ini dan mempertimbangkan lebih jauh lagi sebelum mengeluarkan kebijakan agar nantinya tidak merugikan mahasiswa maupun birokrat kampus,” ungkap Rifky, Sabtu (25/05/2024).
Menurutnya, kenaikan UKT dinilai berdampak buruk bagi calon mahasiswa baru yang memiliki keterbatasan finansial. Ia mengusulkan agar pemerintah mengalihkan anggaran program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) untuk mensubsidi biaya pendidikan daripada menaikkan UKT.
Rifky menambahkan, seharusnya Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim, segera mencabut Permendikbud No. 2 Tahun 2024 yang mengatur kenaikan UKT. Ia juga mengimbau pihak kampus untuk lebih kritis dan bijak dalam setiap keputusan yang berdampak luas.
“Seharusnya pendidikan itu gratis untuk semua masyarakat, bukan membayar apalagi dengan harga yang tidak rasional,” tuturnya.
Rifky menyoroti, pemerintah menuntut mahasiswa untuk menghadapi bonus demografi, namun di sisi lain akses pendidikan tinggi semakin sulit dijangkau akibat kenaikan UKT yang tidak terkendali.
“Orang ingin sekolah tapi dibatasi oleh keterbatasan finansial, namun disisi lain kita semua (mahasiswa – red) dituntut untuk menghadapi bonus demografi dan ini kesalahan berpikir yang dilakukan oleh pemerintah dalam menavigasi keperluan bangsa Indonesia di masa depan,” ungkapnya.
Ia menilai, kenaikan UKT yang terus terjadi tanpa rasionalisasi yang jelas dapat menjadi ancaman bagi masa depan bonus demografi Indonesia. Pasalnya, tidak hanya mahasiswa dari keluarga kurang mampu yang terdampak, tetapi juga mereka yang berasal dari keluarga dengan penghasilan cukup.
“Mahasiswa yang orang tuanya berpenghasilan cukup saja belum tentu bisa untuk melakukan biaya kuliah anaknya secara terus-menerus, tentu ada kondisi di mana keadaan orang tua tak mampu membayar kuliah anaknya,” tuturnya.
Ia berharap ada perubahan kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia terutama pada biaya pendidikan dan transparansi dalam penetapannya. Ia juga mendesak pemerintah untuk membuka ruang diskusi dengan mahasiswa guna membahas kebutuhan dan masa depan kampus serta mahasiswa.
“Seharusnya, dengan kekayaan SDM indonesia yang melimpah, tentu bukan hal sepele untuk menangani permasalahan biaya pendidikan (UKT),” tutupnya.
Reporter: Ferisa Salwa Adhisti
Editor: Aulia Azzahra