Akhir-akhir ini, banyak Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia tengah dilanda masalah tahunan. Isu-isu seputar mahasiswa dengan kampus mengenai biaya pendidikan yang mahal menjadi konflik yang sering terjadi di antara keduanya. Tak heran jika ada mahasiswa yang kuliah sambil bekerja paruh waktu guna membayar biaya kuliah. Biaya uang kuliah tunggal (UKT) dan iuran pengembangan institusi (IPI) yang tiap tahunnya mengalami kenaikan yang cukup signifikan, berujung pada aksi penolakan oleh mahasiswa terhadap kebijakan penetapan biaya UKT yang dikeluarkan oleh kampus.
Seperti halnya yang terjadi pada Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), biaya UKT yang diinformasikan oleh kampus dinilai tidak transparan dan memaksa calon mahasiswa menerima kebijakan yang sudah diterapkan oleh pihak kampus. Selain itu, biaya UKT yang mahal juga memberatkan mahasiswa yang kategori finansialnya masuk ke dalam golongan ekonomi menengah ke bawah.
Lebih memprihatinkannya lagi, penolakan yang dilakukan oleh mahasiswa tidak semuanya membuahkan hasil yang positif. Ada juga yang harus menelan kepahitan atas perbuatannya tersebut. Sebagaimana yang baru-baru ini terjadi di Universitas Riau (UNRI), yang lagi-lagi, inti permasalahanya mengenai tingginya biaya UKT. Kritik yang dilakukan oleh mahasiswa UNRI mengenai mahalnya biaya UKT bukannya menjadi perhatian khusus bagi pihak kampus untuk bahan pertimbangan terhadap penetapan biaya UKT, justru mahasiswa yang mengkritik itu malah dilaporkan ke kepolisian oleh rektornya sendiri.
Timbulnya permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kenaikan biaya UKT tidak terlepas dari adanya kebijakan perubahan status dari Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Sehingga, perguruan tinggi negeri yang telah berstatus berbadan hukum memiliki kewenangan sendiri atas otonominya untuk mengatur secara penuh baik di bidang akademik maupun non akademik.
Dengan demikian, pihak kampus diberi keleluasaan dalam mengatur keuangan secara mandiri tanpa intervensi dari luar. Hal itu menjadikan kampus sebagai ajang untuk mengkomersilkan pendidikan melalui perguruan tinggi. Adanya perubahan status tersebut tidak semestinya menjadikan perguruan tinggi sebagai tempat komersialisasi pada pembangunan kampus.
Kebijakan Pendidikan yang Menyalahi Hakikat Pendidikan
Kebijakan Pendidikan adalah keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan untuk jangka waktu tertentu. Jika kita lihat makna kebijakan pendidikan tersebut, apakah sudah sesuai dengan kenyataannya saat ini? Nyatanya, kebijakan pendidikan saat ini khususnya untuk perguruan tinggi yang belum sepenuhnya mengarah pada tujuan dari pendidikan.
Lalu apakah kebijakan pendidikan itu masih diperlukan? Jika ditinjau dari tujuan kebijakan pendidikan, yaitu adalah untuk mengatur kehidupan antar sesama manusia guna mewujudkan tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, kebijakan pendidikan tidak terlepas dari aspek sosialitas dan keberadaan manusia.
Kebijakan pendidikan yang menghalangi kemerdekaan pribadi untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak, sama halnya seperti merampas hak asasi manusia, pada hakikatnya merupakan anti pendidikan. Selain itu, kebijakan pendidikan yang tidak menghargai aspek sosial berarti telah menghalangi seseorang untuk bersosialisasi dan hidup bersama-sama di masyarakat.
Kebijakan pendidikan harus memiliki kejelasan dalam tujuannya. Kebijakan pendidikan yang tidak memiliki tujuan yang jelas dan tidak mengarah pada hakikat pendidikan bisa berdampak pada pengorbanan kepentingan mahasiswa. Mahasiswa bukanlah objek yang dijadikan oleh pihak kampus sebagai proyek pendidikan untuk dikomersialisasikan, akan tetapi mereka adalah subjek yang berperan dan bertanggung jawab dengan nilai-nilai moralnya.
Hal itu dapat kita lihat, seperti pada polemik kenaikan biaya UKT serta penentuan biaya UKT tinggi yang diputuskan oleh kampus itu dinilai sebagai suatu proyek dan bukan proses pemanusian mahasiswa dalam proses pendidikan. Ketidakjelasan tujuan kampus menaikkan biaya UKT tanpa mempertimbangkan aspek ekonomi mahasiswanya menimbulkan kurangnya pemenuhan kebutuhan mahasiswa dalam menjalani proses pendidikan dan hanya menjadi kepuasan birokrat saja.
Kebijakan Pendidikan Haruslah Bersifat Terbuka (openness)
Pendidikan adalah usaha pemberdayaan sumber daya manusia yang bersifat publik. Namun kelihatannya, nyatanya sekarang mulai bergeser ke arah privatisasi. Hal ini terlihat jelas dari pendidikan yang sudah mulai dikomersialisasikan, akibatnya biaya program pendidikan menjadi semakin mahal contohnya, pematokan biaya UKT yang mahal dan melupakan kewajiban-kewajiban yang seharusnya disediakan oleh pihak kampus untuk diberikan kepada para mahasiswanya. Sehingga hubungan timbal balik antara kampus dan mahasiswa tidak sepadan.
Adanya privatisasi di lembaga pendidikan menunjukkan bahwa pendidikan itu hanya milik orang yang mampu mengaksesnya saja. Maka dari itu, privatisasi dalam lembaga pendidikan membawa pendidikan menuju pada komersialisasi pendidikan yang dapat menyebabkan diskriminasi dalam pendidikan.
Penentuan kebijakan mengenai biaya UKT maupun IPI yang dikeluarkan oleh kampus haruslah dirumuskan dan dipertimbangkan dari berbagai pihak, bukan hanya pihak yang memiliki kekuasaan saja, tetapi juga dari seluruh elemen masyarakat yaitu mahasiswa dan orang tuanya. Sehingga, hasil dari keputusan yang telah dirumuskan tersebut dapat memberikan dampak yang positif dan memberikan manfaat yang banyak bagi semua orang.
Perumusan kebijakan pendidikan yang tidak bersifat terbuka dan tidak mendengarkan suara-suara dari masyarakat berarti telah menutupi makna dari hakikat pendidikan itu sendiri. Kebijakan pendidikan yang hanya ditentukan oleh seseorang/sekelompok orang atau yang punya kekuasaan saja (otoriter maupun diktator) merupakan kebijakan pendidikan yang mengarah kepada pemaksaan. Hal ini menunjukkan kemerdekaan mereka untuk mendapatkan akses pendidikan masih dibatasi oleh belenggu ketidakadilan.
Selain itu, transparansi terhadap implementasi dari kebijakan pendidikan harus diperlukan. Agar masyarakat bisa mengawasi dan mengawal keberlangsungan dari penerapan kebijakan pendidikan, sehingga, apabila kebijakan pendidikan itu kurang sesuai atau melenceng dari tujuannya, dapat dilakukan evaluasi untuk mereformasi kebijakan pendidikan yang baru.
Pemerintah Harus Bertindak Tegas
Kebijakan status perubahan PTN-BLU menjadi PTN-BH merupakan bukti bahwa pemerintah ingin melepas tanggung jawabnya dalam ranah pendidikan. Maka, timbullah komersialisasi pendidikan yang disebabkan karena pemerintah kurang perhatian dan lalai dari tanggung jawab dalam menjaga ranah pendidikan. Komersialisasi pendidikan dapat dilakukan dengan penetapan kebijakan biaya UKT yang mahal untuk mencari keuntungan dalam bisnis di lembaga pendidikan.
Jangan sampai perguruan tinggi melakukan tindakan komersialisasi pendidikan dengan menaikkan biaya UKT, karena mereka memiliki kewenangan otonomi untuk mengatur dan mengelola secara mandiri tanpa campur tangan dari pihak luar. Regulasi yang jelas dan ketat perlu diterapkan untuk memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi prioritas yang tidak terkompromi oleh keuntungan finansial.
Peran pemerintah diperlukan untuk mengkaji ulang kebijakan, terutama dalam penetapan kebijakan perubahan status PTN-BH maupun kebijakan penetapan biaya UKT di perguruan tinggi dan kebijakan pendidikan lainnya yang dirasa itu merugikan, dengan memberikan sanksi tegas kepada perguruan tinggi yang bertindak sewenang-wenang atas penyalahgunaan kekuasaan.
Pemerintah harus bertindak tegas dalam mengendalikan arah kebijakan pendidikan agar tidak terjadi kebrobrokan. Kebijakan pendidikan yang tidak konsisten dan tidak memiliki arah tujuan yang jelas dapat berakibat fatal pada pembinaan peserta didik dalam menjalani proses pendidikan dan dapat berdampak buruk terhadap nasib bangsa Indonesia kedepannya, karena mereka masih dibelenggu oleh kebodohan.
Penulis : Moh. Lukman Alhakim
Mahasiswa Hukum Ekonomi Syari’ah UMS
Editor: Muhammad Farhan