UMS, Pabelan-online.com – Sekretaris Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Tjietjik Tjahjandarie, menyatakan jika pendidikan di perguruan tinggi merupakan pendidikan tersier. Hal ini lantas tuai kritik dosen dan mahasiswa mengenai pendidikan tersier di perguruan tinggi.
Menurut laporan dari kompas.tv, Tjietjik menjelaskan bahwa pendidikan tinggi bukan bagian dari wajib belajar, melainkan merupakan pendidikan tersier. Ia juga menyebutkan bahwa Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) belum cukup untuk menutupi seluruh biaya penyelenggaraan pendidikan, sehingga masyarakat masih harus membayar sebagian biaya.
Dalam wawancara bersama reporter Pabelan-online.com Vinisa Nurul Aisyah, seorang dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta, menyampaikan jika pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Meskipun pendidikan tinggi bersifat tersier, menurutnya mencerdaskan semua warga negara tetap menjadi tujuan utama. Jika UKT terus melonjak, maka akses pendidikan akan terbatas bagi mereka yang memiliki privilese.
“Seluruh penyelenggaraan pendidikan seharusnya menjadi kebutuhan masyarakat, UKT yang mahal seharusnya tidak terjadi. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya,” ujarnya, Selasa (28/05/2024).
Vinisa juga menyebutkan di Indonesia sendiri program wajib belajar saat ini masih di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun, tidak berarti pendidikan di tingkat universitas tidak penting. Masalah utama dari kebijakan wajib belajar 12 tahun bukan terletak pada peserta didik atau siswa, melainkan pada anggaran yang disediakan oleh pemerintah.
Ia pun menyatakan bahwa pendidikan di tingkat universitas bukan hanya untuk mendapatkan ijazah dan persiapan kerja. Menurutnya, pendidikan di tingkat universitas juga tentang bagaimana seseorang mengenal diri sendiri dan memanusiakan manusia.
“Di perguruan tinggi, kita belajar bagaimana berpikir kritis, belajar peka terhadap kondisi sosial, dan bersosialisasi. Ketika biaya kuliah tidak lagi terjangkau, orang-orang dengan ekonomi menengah ke bawah akan berpikir dua kali untuk melanjutkan kuliah.”
Ia menerangkan jika akses pendidikan dipersulit maka akan berdampak pada kemiskinan, peluang kerja, dan kemampuan berpikir kritis. Jika masih ada orang yang kesulitan dan tidak berani untuk kuliah, maka hak mereka juga masih terbatasi.
“Stop komersialisasi pendidikan, berhenti melihat mahasiswa sebagai pelanggan. Mulailah melihat pendidikan sebagai kebutuhan dasar masyarakat. Pemerintah harus menjalankan perannya sebagai penyelenggara negara dengan memenuhi hak-hak warga negara, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan,” tutupnya, Selasa (28/05/2024).
Fadilah Syafira Ilmi, mahasiswa UMS turut menyoroti pentingnya pendidikan di perguruan tinggi. Menurutnya, pendidikan di perguruan tinggi tidak hanya memberikan ilmu teoritis, tetapi juga keterampilan berorganisasi dan mengembangkan kemampuan.
UKT yang naik besar-besaran dinilai tidak masuk akal. Menurutnya, pemerintah secara tidak langsung membatasi akses seseorang untuk menuntut pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Ia berharap pemerintah dapat lebih bijaksana dalam menangani masalah ini. Pemerintah juga seharusnya memberikan beasiswa dan mengamati perkembangan pendidikan di seluruh Indonesia, terkait dengan sistem belajarnya.
“Pemerintah seharusnya tidak memberatkan orang tua dan mahasiswa, karena mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa,” tutupnya, Kamis (30/05/2024).
Reporter: Viona Riana Sari
Editor: Ferisa Salwa Adhisti