Kekerasan seksual telah menjamur, meracuni lingkungan kampus. Tempat yang seharusnya menjadi aman bagi mahasiswa untuk menempuh pendidikan, kini telah berubah menjadi ancaman.
Ironisnya, Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) yang ditugaskan untuk melindungi mereka, justru sering kali menjadi alat birokrasi rektorat.
Kasus terbaru di Universitas Brawijaya (UB) menjadi sorotan yang harus diperhatikan. Seorang mahasiswi menjadi korban kekerasan seksual, tetapi alih-alih mendapat pembelaan, ia malah dihadapkan pada birokrasi yang lambat dan tidak peka.
Dalam penangannya, Satgas PPKS UB dinilai tidak adil dan kurang transparan. Lebih menyesakkan lagi, pihak kampus mengizinkan pelaku meraih gelar sarjana setelah sekadar diskors.
Kelulusan tersebut menjadi sebuah penghinaan bagi korban yang selama tujuh bulan berjuang mencari keadilan yang tertunda.
Satgas PPKS, yang seharusnya menjadi benteng pertahanan bagi mahasiswa, kini seolah menjadi boneka rektorat. Entah demi menjaga reputasi institusi atau alasan pragmatis lainnya, mereka seakan mengingkari tugas melindungi mahasiswa.
Lembaga yang dibentuk untuk memberantas kekerasan seksual malah menjadi tameng yang melindungi pelaku, melanggengkan budaya impunitas yang sudah terlalu lama bercokol di kampus.
Transparansi prinsip fundamental tata kelola yang baik menjadi korban dalam skenario ini. Banyak kasus ditutup-tutupi, diurus di balik pintu tertutup dengan dalih “melindungi mental korban”. Namun, siapa yang sebenarnya mereka lindungi?
Dalam banyak kasus, kerahasiaan ini hanyalah kamuflase untuk melindungi reputasi institusi dan status quo para pejabat tinggi.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus mengambil peran lebih aktif dalam krisis ini. Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi adalah langkah progresif, tetapi implementasinya masih jauh dari memadai.
Kemendikbud perlu lebih dari sekadar mengeluarkan peraturan, dimana mereka harus memastikan kepatuhan dengan konsekuensi nyata. Sanksi harus dijatuhkan pada institusi yang gagal melindungi mahasiswanya, tidak hanya denda finansial, tetapi juga dampak reputasi yang signifikan.
Peringkat universitas, akreditasi, dan pendanaan penelitian harus dikaitkan dengan keseriusan mereka dalam menangani kekerasan seksual. Jika kampus lebih takut kehilangan prestise dan dana daripada bertanggung jawab atas keselamatan mahasiswa, maka inilah cara untuk mengubah prioritas mereka.
Selain itu, harus ada peraturan yang mewajibkan setiap perguruan tinggi memiliki Satgas PPKS yang benar-benar independen dan akuntabel. Mereka harus memiliki jalur pelaporan langsung ke Kemendikbud, melintasi hierarki kampus untuk mencegah intervensi pimpinan universitas.
Transparansi juga harus menjadi standar, bukan pengecualian. Setiap kampus wajib menerbitkan laporan tahunan yang merinci jumlah kasus kekerasan seksual, tindakan yang diambil, dan hasilnya. Anonimitas korban harus dilindungi, tetapi proses dan konsekuensinya harus terbuka untuk pengawasan publik.
Kampus berlomba–lomba meraih akreditasi yang baik, hanya melalui aspek akademik saja. Padahal seharusnya reputasi universitas seharusnya diukur bukan hanya dari prestasi akademik, tetapi juga dari seberapa aman mahasiswanya.
Seperti yang dikatakan Aristoteles, filsuf Yunani kuno, bahwa pada dasarnya keadilan adalah memberi setiap orang apa yang menjadi haknya. Aristoteles percaya bahwa keadilan bukanlah konsep abstrak yang hanya cocok untuk debat filosofis, melainkan kebajikan praktis yang harus diterapkan dalam masyarakat.
Keadilan bukan sekadar kata-kata dalam buku pedoman karena ia harus hidup dalam kenyataan. Bukan diperalat dengan penuh alasan, melainkan sebuah senjata yang harus bisa dimanfaatkan. Keadilan berarti memastikan setiap individu menerima apa yang seharusnya mereka terima, baik itu hak, penghargaan, atau hukuman yang sesuai dengan tindakan mereka.