Sudah sewajarnya tradisi tindak kekerasan di kampus dihilangkan karena saat ini sudah bukan lagi zamannya untuk melakukan tindak kekerasan berkedok ‘senior-junior’. Pada akhirnya, budaya tersebut hanya akan memakan korban bahkan hingga meninggal dunia.
Di zaman yang sudah serba canggih ini, sudah selayaknya kampus maupun mahasiswa dapat membuat kegiatan yang jauh lebih menyenangkan untuk mempererat satu sama lain. Meskipun budaya ‘senior-junior’ digadang-gadang dapat menguatkan mental mahasiswa ke depannya, tapi nyatanya, budaya itu justru hanya akan memberikan dampak negatif yang jauh lebih mengerikan.
Budaya senioritas di kalangan mahasiswa telah menjadi salah satu aspek penting dalam kehidupan kampus di berbagai negara, termasuk Indonesia. Budaya tersebut seringkali didasarkan pada hierarki usia dan tingkat akademis, memiliki dampak yang signifikan pada dinamika sosial, dan pengalaman pendidikan pada mahasiswa. Namun, seperti dua sisi mata uang, budaya senioritas juga memiliki sisi positif dan negatif yang perlu dipertimbangkan.
Sisi positifnya, budaya ‘senior-junior’ dapat memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas antar mahasiswa, menciptakan jaringan sosial yang kuat yang bisa berguna selama dan setelah masa studi. Biasanya senior yang lebih dulu melewati berbagai pengalaman akademis dan kehidupan kampus, dapat berbagi pengetahuan dan nasihat untuk membantu para juniornya beradaptasi lebih cepat dan menghindari kesalahan yang sama.
Namun, yang salah dalam budaya tersebut, seringkali malah disalahgunakan sebagai ajang kekuasaan dan intimidasi. Praktik perpeloncoan merupakan contoh dari budaya senioritas yang mengakibatkan tekanan psikologis dan fisik bagi mahasiswa. Selain itu, budaya tersebut dapat membatasi kreativitas dan kurangnya rasa percaya diri untuk menyuarakan pendapat karena takut melanggar peraturan yang berlaku.
Kita tidak pernah tahu bagaimana seseorang mereaksi tindakan dari budaya tersebut. Namun, pada beberapa kasus yang terjadi, mahasiswa justru bereaksi pasif setelah mencicipi budaya tersebut.
Kasus nyata dari budaya tersebut datang dari kalangan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta Utara. Meskipun beberapa orang menyebutkan jika itu sudah menjadi budaya, tapi apakah mereka tidak sadar jika semakin hari semakin banyak korban berjatuhan lantaran budaya tersebut? Sepertinya tidak.
Budaya tersebut masih saja diterapkan di wilayah kampus. Akhirnya, setelah kasus itu terkuak, barulah budaya tersebut ditindaklanjuti lebih dalam untuk bisa dihilangkan dari kampus. Namun, yang menjadi pertanyaan, mengapa harus menunggu adanya korban jiwa terlebih dahulu untuk menghapus budaya tersebut?
Kasus ini memperlihatkan betapa acuh tak acuhnya pihak kampus dalam melihat budaya yang turun-temurun. Bukannya meminimalisir tindak kekerasan, kampus justru masih saja membiarkan mahasiswanya melakukan tindak kekerasan. Jika sudah terlanjur ramai begitu, ujungnya, kampus hanya akan kembali menyalahkan mahasiswa yang lalai akibat tindakannya.
Mengapa dalam hal ini kampus juga turut dianggap lalai? Karena pada kenyataannya, kampus hanya akan tutup mata dan telinga dari kasus-kasus seperti itu. Sebenarnya kampus mengerti bahwa terdapat budaya senioritas, tapi pada kenyataannya tak mau buka mata ataupun telinga.
Hal itulah yang mengakibatkan masih marak budaya senioritas di lingkungan kampus yang akhirnya memakan korban jiwa. Lantas apa yang seharusnya dilakukan agar budaya tersebut tidak terulang kembali?
Pihak kampus seharusnya melakukan pemantauan selama masa penerimaan mahasiswa baru, ataupun pada organisasi-organisasi yang melakukan serangkaian open recruitment. Dengan adanya pengawasan dari pihak kampus, mahasiswa sebagai penyelenggara acara akan senantiasa lebih berhati-hati dalam bertindak. Toh budaya senioritas sudah tidak eksis lagi untuk zaman yang serbamaju ini.
Jika melihat pada kampus-kampus di indonesia, saat ini sudah banyak kampus yang menghilangkan budaya senioritas. Budaya itu telah diganti dengan kegiatan-kegiatan yang lebih mempererat kekeluargaan antara satu sama lain. Karena pada akhirnya, budaya senioritas yang katanya untuk menempa mental, nyatanya hanya akan menghancurkan mental hingga memakan korban jiwa.
Oleh karena itu, penting bagi institusi pendidikan tinggi untuk memfasilitasi lingkungan yang seimbang di mana budaya senioritas dapat berfungsi sebagai alat pendukung yang positif, bukan malah sebagai ajang perpeloncongan. Dengan demikian, mahasiswa dapat merasakan manfaat dari bimbingan senior tanpa harus khawatir akan intimidasi atau tekanan yang berlebihan. Integrasi antara kebebasan berpendapat dan rasa hormat terhadap pengalaman senior dapat menciptakan budaya kampus yang lebih sehat dan produktif.
Penulis: Aulia Azzahra Mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor: Muhammad Farhan