Apa yang terbersit dalam benak orang-orang saat membayangkan dunia perkuliahan?
Terlepas dari bayangan biayanya yang mahal, sebagian orang mungkin membayangkan keheterogenan kepribadian dan latar belakang mahasiswa di dalamnya, atau bahkan yang tidak lazim. Ada juga yang membayangkan persaingan ketat dalam memperoleh nilai akademik yang tinggi, serta upaya brutal untuk mendapatkannya, seperti menjegal teman sendiri atau memperoleh nilai dengan cara yang tidak terpuji.
Mungkin ada pula yang membayangkan pergaulan dan lingkungan kampus. Cerita-cerita yang mengarah pada pergaulan bebas begitu marak, baik dari media sosial maupun dari orang-orang di kehidupan nyata.
Hampir setahun berlalu semenjak seseorang memperingatkan saya agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas di perkuliahan nanti. Saat itu, imajinasi saya menganggap kebebasan di dunia perkuliahan akan begitu melenakan dan seolah-olah menjadi sesuatu yang pasti didapati saat kuliah.
Dua semester hampir usai, namun tampaknya, saya belum mendapati momok tersebut. Paling jauh, saya hanya mendengar cerita-cerita atau skandal perselingkuhan yang menjadi rahasia umum, tidak lebih. Mungkin memang belum terjadi? Atau karena saya tidak berusaha mencarinya? Entahlah, sejauh ini belum ada jawaban pasti.
Saya setuju jika di perkuliahan, mahasiswa benar-benar diberi kebebasan untuk melakukan apa saja. Wajar karena mereka dianggap dewasa dan mampu berpikir sendiri dalam membedakan mana yang baik dan buruk beserta konsekuensinya.
Namun, yang mungkin sering dilupakan atau disalahpahami mahasiswa adalah, kebebasan itu bukan berarti sepenuhnya terbebas dari moral dan agama. Sebab, sebebas apapun kita di kampus, kita tetap tidak akan luput dari pengawasan Tuhan (dalam pembahasan ini tidak membahas penganut ateisme).
Beberapa kasus yang saya jumpai, ada yang dulunya polos, baik-baik, terjaga dengan baik oleh didikan hebat orang tuanya, bahkan lulusan pesantren yang dinilai “orang suci” dan “bersih dari kemaksiatan”. Namun, saat berkuliah dan menemukan kebebasan, bagai tahanan yang dilepas, dia menjadi kacau. Dimulai dari merokok, kemudian bermabuk-mabukan, tidur dengan pasangan yang berbeda-beda adalah kegiatan rutin, hingga hidup bersama kekasih tanpa ikatan.
Saat bermabuk-mabukan atau tidur dengan pacarnya, mungkin dia berpikir telah aman dari pengawasan. Itu keliru dan naif! Dia masih mustahil lepas dari pengawasan Tuhan. Kasus ini menunjukkan gemerlapnya kebebasan dapat membawa seseorang semakin menjauh dari Tuhan. Kebebasan dalam perkuliahan rupanya bisa menyesatkan menuju kemerosotan moral.
Namun, seperti pisau bermata dua, kebebasan tak selalu membawa hal negatif.
Nyatanya, banyak juga yang dulunya kurang berprestasi, tapi saat kuliah menjadi mahasiswa berprestasi. Ada yang sebelumnya tak pernah mendapat peringkat akademik tinggi, namun di bangku kuliah terus mendapat IPK tinggi, bahkan hingga cumlaude saat di wisuda.
Adapun yang awalnya tak kenal siapa-siapa dan tak tahu tujuan hidup, tapi di kampus menemukan banyak koneksi dan peluang sehingga mempunyai tujuan hidup yang jelas. Lebih uniknya, ada yang semenjak lama melajang dan kesulitan mencari pasangan hidup, tapi saat kuliah menemukan cintanya.
Jangan disalahpahami, menemukan cinta bukan berarti bisa dan boleh berhubungan sejauh itu.
Dari sini kita mengerti bahwa kebebasan dalam perkuliahan atau dimanapun tentu mempunyai konsekuensi. Hal itulah yang akan menguji bagaimana hasrat dan nafsu mahasiswa ketika dibebaskan.
Saya pikir, kekhawatiran akan pergaulan bebas tak perlu dibesarkan. Kekhawatiran itu, bagaimanapun, hanya kekhawatiran belaka. Bukan berarti takdir yang tergariskan apalagi terprediksi.
Sebagaimana pisau bermata dua, kebebasan dapat membuat seorang mahasiswa melejit atau merosot. Bagaimana dua kemungkinan itu akan ditentukan oleh bagaimana mahasiswa menyikapi dan menghadapi gemerlapnya kebebasan di perkuliahan. Hal itu sangat dipengaruhi oleh orientasi mahasiswa dalam berkuliah.
Mungkin pepatah itu benar, “Seseorang akan dipertemukan dengan apa yang ia cari”.
Penulis: Muhammad Farhan Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor: Ferisa Salwa Adhisti