Baru-baru ini, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Baleg DPR RI) memberikan hembusan angin segar untuk para jurnalis dan sejumlah kalangan masyarakat di Indonesia. Berawal dari sederet demonstrasi yang telah dilakukan oleh massa jurnalis dan aktivis demi membatalkan RUU Penyiaran, kini, upaya-upaya itu pun membuahkan hasil. Pembahasan mengenai RUU Penyiaran setidaknya ditunda untuk sementara waktu.
Namun, kendati para jurnalis kembali dapat bernapas lega lantaran RUU Penyiaran pembahasan ditunda, angin segar dari Baleg DPR itu tak lebih dari sebuah kelegaan yang semu. Sebab, masih ada kemungkinan adanya pembahasan ulang mengenai pasal-pasal yang problematik.
Sebagai contoh, terdapat pasal yang melarang penayangan hasil jurnalistik investigasi. Poin itu dianggap bermasalah karena pasal tersebut dapat disalahgunakan untuk membungkam kritik dan mengurangi transparansi serta akuntabilitas.
Selain itu, adanya pasal Pasal 50B ayat 2 huruf (k) yang melarang membuat konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik. Pasal itu mirip dengan pasal karet dalam UU ITE, yang sering digunakan untuk membungkam kritik.
Ketidakjelasan definisi pada istilah pada pasal tersebut, seperti “penghinaan” dan “pencemaran nama baik”, dapat digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis dan mengancam kebebasan berpendapat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa aturan tersebut bisa saja menjadi alat untuk sensor yang mengawasi secara berlebihan konten di media sosial, yang juga dikhawatirkan akan membatasi ruang bagi konten kreator untuk berekspresi di media sosialnya miliknya.
Masalahnya, alih-alih pembahasan mengenai draf RUU Penyiaran itu melibatkan organisasi pers dan gabungan pers mahasiswa, DPR justru dengan sekonyong-konyong telah merilis draf tersebut kepada publik tanpa sepengetahuan oleh Dewan Pers.
Idealnya, proses penyusunan undang-undang semestinya dilakukan secara inklusif dan transparan, serta melibatkan masukan dari berbagai pihak yang akan terdampak oleh undang-undang tersebut. Hal ini penting dilakukan demi memastikan bahwa semua sudut pandang telah dipertimbangkan, dan undang-undang yang dihasilkan dapat diterima dan didukung oleh masyarakat luas.
Namun, nyatanya, banyak pihak merasa bahwa revisi RUU Penyiaran itu dilakukan secara tertutup dan tidak ada konsultasi dengan publik yang memadai, terutama dengan para jurnalis. Ulah itu menimbulkan rasa ketidakpercayaan dan kekecewaan dari komunitas jurnalis dan organisasi pers.
Mengingat kasus pengesahan yang terjadi pada Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 lalu. Undang-undang itu digolkan secara tiba-tiba di saat masyarakat lengah dalam memantau RUU Ciptaker tersebut. Undang-undang Omnibus Law telah disahkan di saat isu tentang hal tersebut mereda di masyarakat.
Mudah diprediksi, berbagai kerusuhan pun terjadi di berbagai tempat karena banyaknya pertentangan dari pihak-pihak yang dirugikan oleh undang-undang itu.
Maka, demi mencegah agar peristiwa kelam itu tak terulang kembali, masyarakat tidak boleh lalai dalam mengawal dan harus terus mengawasi DPR. Upaya itu mesti digencarkan agar RUU Penyiaran tidak digolkan secara tiba-tiba, terlebih jika masyarakat lalai dalam mengawasi, sebagaimana yang terjadi pada pengesahan pada Omnibus Law lalu.