Keadilan merupakan salah satu pilar utama di dalam kehidupan masyarakat. Namun, keadilan seringkali menjadi konsep yang sulit diwujudkan, terutama dalam kasus kekerasan seksual. Pencarian keadilan bagi korban kekerasan seksual menjadi sangat krusial, bukan hanya untuk memberikan hukuman kepada pelaku tetapi juga memberikan rasa aman dan pemulihan bagi korban.
Saat ini Universitas Brawijaya (UB) tengah menjadi sorotan berbagai pihak atas kasus kekerasan seksual yang melibatkan mahasiswa jurusan Hubungan Internasional. Meskipun pelaku telah diberikan sanksi yang tegas berupa pencabutan status kemahasiswaan dan pembatalan kelulusannya, banyak pihak yang merasa bahwa keadilan belum sepenuhnya tercapai terutama bagi korban.
Korban yang saat ini harus menghadapi trauma yang dialaminya, merasa sanksi yang diberikan belum memadai. Terlebih, dalam menghadapi stigma sosial yang berat dimana dikucilkan di lingkungannya dan akan menambah beban yang ditanggungnya.
Stigma negatif yang dihadapi korban merupakan cerminan dari budaya patriarki yang masih mengakar kuat di masyarakat. Perlu adanya upaya edukasi yang lebih lanjut untuk melawan stigma ini dan membangun budaya yang lebih toleran terhadap korban kekerasan seksual.
Pencabutan status kemahasiswaan dan pembatalan kelulusan merupakan langkah awal yang penting, dimana institusi pendidikan tidak mentolerir kekerasan seksual. Namun, hukuman administratif saja dirasa tidaklah cukup. Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang serius dan perlu proses hukum agar korban mendapatkan keadilan penuh sehingga pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal. Hal ini merupakan langkah untuk pencegahan bagi pelaku lainnya.
Penanganan universitas terhadap kasus kekerasan seksual ini merupakan sebuah pengingat akan kegagalan sistem yang memungkinkan kekerasan seksual terus berlanjut. Institusi pendidikan seharusnya mengambil peran yang proaktif dalam mencegah kekerasan seksual seperti memberikan dukungan kepada korban.
Penyediaan layanan seperti konseling dan layanan medis, serta penerapan kebijakan yang memastikan bahwa pelaku menghadapi konsekuensi yang sesuai. Ini harus menjadi pengingat bahwa kekerasan seksual bukan hanya masalah fisik saja, tetapi juga masalah mental dan emosional yang memerlukan penanganan serius. Seharusnya universitas mengambil tindakan disipliner terhadap pelaku yang mencerminkan beratnya tindakan yang dilakukannya.
Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) sudah seharusnya menjadi pertolongan pertama bagi kasus-kasus kekerasan seksual. Namun sayangnya dalam kasus mahasiswa UB ini, satgas PPKS dirasa belum sepenuhnya turun tangan dengan sigap. Sehingga korban terpaksa membuka kasus ini di media sosial.
Penyediaan program pendidikan dan kesadaran akan pencegahan kekerasan sangat dibutuhkan di lingkungan universitas. Institusi pendidikan perlu mengevaluasi dan melakukan reformasi kebijakan mereka terkait penanganan kasus kekerasan seksual.
Terlebih pada prosedur pelaporan yang mudah diakses dan memberikan perlindungan bagi korban. Satgas PPKS sudah seharusnya menjadi langkah pertama yang akan melindungi mereka dalam mengungkapkan kasus kekerasan seksual.
Keadilan bukan hanya menghukum pelaku melainkan juga memulihkan korban. Penanganan yang komprehensif dan kolaboratif menjadi kunci untuk memastikan bahwa kekerasan seksual tidak lagi menjadi ancaman di lingkungan pendidikan dan masyarakat luas.