Pada suatu hari yang ragu
Puisi mempertemukan aku dengan kau
Ke sebuah titik yang tidak lagi dapat dilalui
“Apakah kau terlambat membuka diri?”
Katamu padaku
Tidak
Kataku
Aku, memang, membatasi diri
Darimu
Dari diriku yang setelah ini akan membangun ruang
Di mana kau bisa kembali berkali-kali
Tapi aku memang selalu terlambat
Dan waktu tidak punya ruang tunggu
Kau harus segera melangkah
Atau terlindas kenyataan sekali lagi
Di bawah lalu lalang selamat tinggal
Kau berteduh dari derasnya kata-kataku yang jatuh
Menunggu redanya perasaanku yang hampir utuh
Menyusun kembali kepingan ingatan kita yang rapuh
Peron lima menatap peron empat di hadapannya
Menunggu pulang datang menjemput dukaku yang riang
Bulan sabit menghiasi wajahku
Di atasnya sepasang kekasih meneteskan air yang itu itu saja
Barangkali mereka mengerti
Bahwa kau dan aku, seperti air dan mata
Kau meraih selembar kertas di balik sakumu
Memastikan bahwa nomor itu takkan menyandingkan kita lagi
Tapi kau salah
Gerbong ini menginginkan kematian
Antara kau dan aku
Yang berhadapan dengan jarak
Sejauh kehampaan ruang dan waktu
Kondektur menghampiriku
kemudian berkata
“Turun! Perhentianmu di sini.”
Aku turun lalu bersila di samping rel
Dengan samar hymne perpisahan
Terdengar dari ruangan kepala stasiun
Penulis: Tazkia Fadiyatul Aulia
Mahasiswa Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia
Editor: Aulia Azzahra