“A New Hope”, begitu yang tertera pada sampul depan majalah Time edisi 27 Oktober sepuluh tahun silam. Edisi itu diterbitkan setelah Jokowi berhasil memenangkan kontes Pemilu dan memberikan harapan baru bagi masyarakat Indonesia. Bahwa Presiden di negara ini tak harus dari kalangan elit politik, yang kemudian masyhur dengan gaya kepemimpinan presiden yang “merakyat”.
Fase baru Indonesia pun dimulai. Sayangnya, di sepanjang sepuluh tahun ia berkuasa, rupanya, kinerja Jokowi itu dinilai buruk oleh banyak dari kalangan ahli dan masyarakat. Beragam kebijakan dan ulah kontroversialnya di depan pers kerap kali memicu polemik pada masyarakat. Hingga pada puncaknya, alih-alih ia berbenah di penghujung masa jabatannya, Jokowi justru semakin mengubrak-abrik harapan dan kepercayaan masyarakatnya.
Belum cukup puas ia meluluhlantakkan harapan dan kepercayaan masyarakat tanah air di sepanjang dasawarsa terakhir, ia pun berencana melanggengkan cerminan kepemimpinannya kepada putra sulungnya, Gibran. Masalahnya, cara yang digunakan untuk melancarkan upayanya itu pun masih saja tak dapat lepas dari cara yang nista.
Antitesis dari sampul majalah Time pun mencuat setelah satu dekade kepemimpinan Jokowi. “Annus horribilis”, begitu yang disebut oleh majalah Tempo dalam rubrik opininya. Melalui kaleidoskop pada edisi itu, peristiwa-peristiwa di sepuluh tahun masa jabatan Jokowi telah menunjukkan ancaman yang nyata terhadap demokrasi negara.
Tak heran jika banyak dari kalangan akademikus dan ahli pun berpendapat, bahwa selain telah meluluhlantakkan kepercayaan dan harapan masyarakat, Jokowi juga telah memberantakkan demokrasi.
Setelah berhasil mengangkangi Mahkamah Konstitusi melalui adik iparnya, Anwar usman, dan meloloskan anaknya menjadi Wakil Presiden, Jokowi rupanya masih belum puas berbuat onar.
Tak cukup sampai di situ, sebagaimana yang diserukan dalam aksi demonstrasi yang dipelopori oleh BEM UNS pada 24 Juli lalu, yang telah melayangkan sejumlah tuntutan pada pemerintahan Jokowi. Di antara tuntutan itu yakni dimulai dari RUU TNI/Polri, Tapera, RUU Penyiaran, Putusan MA mengenai ambang batas parlemen bagi putra keduanya, Kaesang, hingga komersialisasi pendidikan.
Sederet ulah itu merupakan akibat dari Jokowi yang tak kunjung dimakzulkan meski telah memenuhi syarat pemakzulan. Hal itu kemudian berakibat pada efek kecanduan Jokowi yang menjadi ketagihan memporak-porandakan negaranya sendiri, secara tahap demi tahap. Tak sulit diprediksi, efek candu kekuasaan pada Jokowi itu akan terus berlanjut apabila ia tak segera dicopot dari kekuasaannya.
Namun, yang jauh lebih mengerikannya lagi, gaya busuk kepemimpinannya itu akan terus dilanjutkan oleh putranya, Gibran. Itu berarti, hal ihwal buruk semasa kepemimpinan Jokowi akan terus lestari hingga entah kapan. Sebab, ada kemungkinan, Gibran tak akan puas jika hanya menjadi Wakil Presiden saja. Kalaupun seusai era Prabowo nanti giliran Gibran menjadi Presiden, bukan hal yang mustahil bila Gibran tak akan puas dengan satu periode saja.
Berkaca dari banyaknya UU yang diubah tiba-tiba dengan sewenang-wenang pada Pemilu 2024 di Februali lalu, bukan suatu hal yang mustahil apabila di era kepemimpinan putranya nanti, periodisasi presiden bisa saja diubah menjadi lebih dari lima tahun. Mengelabuhi konstitusi dan undang-undang pun akan menjadi hal yang lumrah terjadi di era kepemimpinannya nanti.
Jika masyarakat terus mengabaikan bencana-bencana demokrasi akibat dari ulah Jokowi ini, maka cita-cita reformasi yang telah diperjuangkan 25 tahun lalu, berupa demokrasi yang sehat akan segera lenyap sepenuhnya dari tanah air.