UMS, Pabelan-online.com – Kebocoran data Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) kembali menjadi sorotan setelah serangan ransomware pada Pusat Data Nasional (PDN) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Hal ini memicu kekhawatiran dan pertanyaan serius tentang keamanan siber data pemerintah Indonesia.
Di Indonesia saat ini masih mengalami banyak masalah dalam hal keamanan cyber, terutama dalam menghadapi ancaman cyber attack yang semakin kompleks. Laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam serangan cyber di Indonesia dari 2018 hingga 2020.
Kasus-kasus ini menunjukkan kelemahan mendasar dalam sistem keamanan siber pemerintah yang harus dibenahi. Kebocoran data KIPK-K dapat berdampak serius bagi para mahasiswa penerima, seperti penyalahgunaan data pribadi yang berimbas pada peretasan identitas.
Dihubungi oleh reporter Pabelan-online.com, Fandisya Rahman salah satu dosen Universitas Telkom yang mengampu Mobile & Web Programming, Wireless Sensor Network, Robotic, Image Processing, menyebutkan awal mula peretasan data dilakukan kepada data PTN yang berimbas pada data KIP-K. Data-data yang terkumpul akan masuk ke dalam data PDN dari Dinas Pendidikan.
Lebih lanjut, ia menjelaskan sebenarnya berbagai data banyak yang mengalami peretasan, mulai dari data Dinas Pendidikan hingga data-data Pemerintahan lain. Namun, jenis data apa saja belum diketahui dikarenakan pemerintah tindak memberikan informasi yang mendetail.
“Jenis data yang bocor sebenarnya banyak sekali tidak hanya menyangkut pada Dinas Pendidikan saja. Namun yang paling fatal yaitu pada Dinas Pendidikan ini, terutama pendataan mahasiswa baru,” ujarnya, Sabtu (06/07/2024).
Berdasarkan informasi yang didapat, peretasan menyebabkan layanan KIP-K menjadi terhambat. Sehingga pembayaran uang sekolah bagi hampir satu juta mahasiswa Indonesia masih belum tersedia. Hal ini mengganggu proses pembelajaran mahasiswa baru dan mahasiswa yang sedang belajar karena telah mempengaruhi prosedur pendaftaran sekaligus distribusi.
“Tentu saja insiden ini sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat, jadi kesannya masyarakat menjadi berpikir data yang tertampung dipemerintah tidak aman. Apalagi dari kaitannya dengan orang tua mahasiswa. Insiden tersebut juga menjadi keresahan mahasiswa baru yang mendaftar KIP-K, mereka takut data tidak bisa masuk untuk pendaftaran,” jelas Rahman.
Dengan kejadian ini, keamanan siber di Indonesia masih dipertanyakan terutama mengingat risiko serangan cyber yang semakin canggih. Di Indonesia perlu melakukan upaya yang signifikan dalam mengembangkan infrastruktur keamanan data yang dapat diandalkan dan sumber daya manusia yang terampil untuk industri cyber security.
Pengelolaan data agar tidak mudah diretas bisa dimulai dengan mengetahui penyebab lemahnya suatu sistem dan mengetahui tipe serangan yang ada di website Indonesia. Dilanjutkan dengan memilih teknologi untuk menangkalnya, diperoleh melalui auidt atau pengawasan. Serta melakukan pengawasan secara intens dan melakukan pelatihan kepada semua operator beserta staff yang bertugas menghandle.
“Supaya data tidak bocor, maka harus dienkripsi. Saya rasa pemerintah sudah melakukannya namun kalah dengan teknologi peretas yang canggih, maka dari itu mungkin bisa lebih ditingkatkan kembali,” tutupnya.
Pada kesempatan yang berbeda, mahasiswa berinisial CW salah satu Perguruan Tinggi Swasta sangat menyayangkan mengapa data-data penting pemerintah dapat diretas dengan mudah. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh dua faktor yaitu mengingat keamanan website yang kurang dan operator yang kurang memadai.
Lanjutnya ia berpendapat bahwa kesadaran akan pentingnya keamanan siber di Indoneisa masih cukup memprihatinkan. Ketidaksiapan oleh pemerintah dalam pencegahan dan mitigasi risiko terhadap ancaman siber, memungkinkan serangan terhadap infrastruktur vital yang dapat menyebabkan kelumpuhan dalam pelayanan masyarakat.
“Semoga kedepannya saya harap pemerintah lebih tanggap lagi sama resiko-resiko dibaliknya,” harapnya, Jumat (05/07/2024).
Reporter : Hikma Agma Titan Shannia
Editor: Kania Aulia Nazmah Nabilla