Kebocoran data Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) baru-baru ini harusnya membuka mata kita pada kenyataan yang mengkhawatirkan tentang kondisi keamanan siber di Indonesia. Insiden ini bukan hanya menunjukkan kerentanan sistem kita, tetapi juga memperlihatkan betapa tidak kompeten para penanggung jawab keamanan data warga negara.
Era dimana serangan siber semakin canggih, sungguh mengejutkan bahwa pemerintah masih mempercayakan keamanan data pada SDM yang tidak memiliki kualifikasi memadai. Ini bukan sekadar kelalaian, melainkan pengabaian serius terhadap hak privasi dan keamanan data jutaan warga negara.
Dampak dari kebocoran data KIP-K ini merugikan. Hampir satu juta mahasiswa Indonesia mengalami hambatan dalam pembayaran uang kuliah. Lebih dari itu, kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah dalam menjaga data sensitif warga mulai goyah.
Bagaimana mungkin masyarakat bisa percaya jika data yang seharusnya dijaga dengan ketat bisa begitu mudahnya jatuh ke tangan yang tidak bertanggung jawab?
Bahkan informasi terakhir yang diliput oleh CNN menunjukan data pribadi, sistem keamanan lisensi perangkat lunak, dan dokumen kontrak dari Pusat Data Nasional (PDN) dari tahun 2021 hingga 2024 dijual dengan harga U$121.000.
Alih-alih mempekerjakan ahli keamanan siber yang kompeten, tanggung jawab krusial ini justru diserahkan kepada mereka yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang kompleksitas ancaman digital.
Ini bukan masalah kekurangan dana atau teknologi, melainkan masalah komitmen dan keseriusan dalam memandang keamanan siber sebagai aspek vital keamanan nasional.
Lantas, ke mana arah keamanan siber Indonesia? Jika pemerintah teruss membiarkan orang-orang yang tidak kompeten memegang tanggung jawab sebesar ini, jawabannya jelas: ke arah kehancuran.
Pemerintah tidak bisa lagi menganggap enteng masalah ini. Pemerintah sama saja bukan hanya mengkhianati kepercayaan publik, tetapi juga membuka lebar pintu bagi ancaman yang jauh lebih besar di masa depan.