Dia dan adiknya sedang pergi keluar rumah. Ayah dan ibunya tidak tahu mereka mau kemana. Tetapi seperti biasanya, mereka akan bermain-main mengelilingi lapangan dan bermain kejar-kejaran. Kakaknya berusia 10 tahun dan adiknya berusia 8 tahun. Terpaut umur dua tahun.
Walaupun mereka kakak dan adik, mereka kerap kali bertengkar hanya karena hal sepele. Hal sepele itu mungkin karena permintaan mereka yang kontradiktif saja. Seperti saat si adik meminta boneka, tetapi kakak lelakinya tidak mau.
Karena dia lelaki, kalau mainan jangan boneka. Motor-motoran saja. Itu anggapan kakaknya. Berbeda dengan anggapan adiknya, cewek harus mainan anak-anakan dan boneka-bonekaan. Supaya sekaligus bisa berlatih menjadi ibu yang baik di kala besar nanti.
Siang itu mereka bermain di dekat kebun jati milik kakeknya. Kebun yang tidak luas. Hanya bersebelahan dengan kebun tebu milik orang lain. Biasanya, kalau mereka sedang lelah, sang kakak akan memprotes tebu dan mengupas kulit batang tebu. Lalu daging tebunya dikunyah-kunyah mereka berdua. Mereka serap dalam-dalam saripati dalam batang tebu itu. Tidak ada orang yang tahu perbuatan mereka. Bahkan, kakek mereka pun membiarkannya begitu saja, tidak mau turut campur. Sudah berulang kali kakeknya menasihati kedua cucunya supaya tidak ambil tebu tetangga.
Namanya anak kecil, dikasih tahu malah menganggap itu hanya mainan. Seperti dunia mereka yang penuh mainan, hanya ingin bermain saja. Bahkan kalau menonton televisi, yang ditonton isinya juga mainan.
Sepekan lalu, tetangga mereka melihat tingkah laku mereka berlari dari dalam rimbun tebu. Mereka telah merusak dan memakan beberapa tebu. Kulit dan daunnya tidak dibuang, dibiarkan berserakan begitu saja di kebun itu. Tetangga mereka yang melihat juga menasihati supaya jangan melakukan hal itu lagi. Nanti kalau ketahuan pemiliknya, mereka bisa dimarahi. Sebenarnya pemiliknya adalah seorang Perhutani, tetapi sudah disewa sama orang Perhutani.
Karena biaya sewa yang lumayan murah, orang perhutani menyewanya dan menanaminya dengan tebu. Lalu, kalau sudah panen sekitar beberapa bulan, bisa disetorkan ke pabrik gula. Tebu adalah bahan mentah dari pabrik gula.
Seperti anak-anak kecil lainnya. Mereka jelas tidak mengindahkan omongan orang lain, terus saja berlari tanpa henti. Mereka pulang kembali ke rumah kakek mereka yang sedang tidur di sebuah kursi panjang untuk sekedar minum air.
Mendengar suara cucunya ada dalam rumah, kakeknya memberitahu pada mereka untuk berhenti makan tebu. Sebab kakek sudah mendapat informasi, kalau ada anak hilang kemarin dan sampai sekarang belum ditemukan dimana mereka berada.
Dua orang anak hilang, tak tahu hilang kemana. Orang tua mereka mencari sampai pusing dan sedih. Kakeknya memberitahu mereka berdua supaya berhati-hati. Jangan sampai mereka main di kebun tebu atau kebun jati lagi. Kakeknya tidak mau kedua cucunya menjadi korban penculikan. Mereka berdua mendengarkan kakeknya berbicara. Kakaknya tampak paham apa yang dibicarakan oleh kakek.
Adiknya hanya tersenyum sambil memainkan boneka di tangannya. Dipegangnya baju kakaknya lalu mengajak minta pulang ke rumah. Karena hari sudah sore, kakaknya memutuskan untuk pulang ke rumah. Jarak rumah orang tua dengan rumah kakek mereka berdekatan. Hanya beberapa meter saja untuk berjalan sampai ke rumah. Orang tua mereka marah karena mereka bermain sampai lupa kapan waktu belajar.
Kemarahan orang tua mereka sudah menjadi hal yang biasa bagi kedua anak itu. Rasanya hampir setiap hari mereka dimarahi karena bermain sampai sore baru pulang ke rumah. Sementara di rumah, ibu mereka menunggu sambil mengerjakan beberapa kain jahit.
Keesokan harinya, mereka kembali bermain lagi. Seperti biasa mereka berkunjung ke rumah kakeknya. Sang kakek yang sedang memberi makan ayam pun menoleh pada kedua cucunya yang berkunjung.
“Oh, kalian. Ingat, jangan main ke kebun tebu! Main saja di kebun belakang kakek,” kakek melanjutkan memberi makan ayam-ayamnya yang sudah dipelihara dari kecil sampai besar dengan tangannya.
Setiap hari, ayamnya harus dikasih makan nasi dan beberapa butir jagung. Alhasil tubuh ayam-ayam kakek semuanya berisi. Tidak ada yang kurus. Leher ayamnya pun lurus, tidak bengkok.
Tetapi kakek tidak suka dengan aduan ayam. Beberapa kali ada orang mau menyewa ayam kakek, tetapi kakek tidak sewakan. Dia tidak mau kalau ayamnya dibuat aduan. Itu dosa. Sama saja mengadu ayam sampai mati.
Kedua anak itu keburu bermain kejar-kejaran di kebun jati belakang rumah kakek. Mereka bermain tanah liat membentuk-bentuk tanah liat, dibuat mirip truk, ada rodanya yang juga dari tanah liat.
Adiknya juga sama. Bermain tanah liat bersama kakaknya. Membentuk orang-orangan, lalu dibuatkan masakan dari tanah liat. Mereka gumpal-gumpalkan tanah liat dan dibentuknya sendiri dengan tangan mereka.
Kala mereka sedang asyik bermain, ada dua orang naik motor menghampiri. Yang satu nampak memperhatikan mereka lama sekali. Kakaknya melihat orang asing itu dengan curiga. Kakaknya punya firasat tidak enak.
“Kita bermain kejar-kejaran, Kak. Setelah itu kita makan tebu lagi,” adiknya merengek sambil berlari ke kebun tebu.
Kakaknya menyusul di belakang dan mengejar adiknya. Adiknya masuk ke dalam kebun tebu. Si kakak berusaha mencarinya. Dia menyibak dedaunan tebu yang rimbun itu dan belum temukan adiknya. Dia panggil-panggil adiknya, tetapi tak ada suara. Hanya ada katak melompat.
“Dik, kamu dimana?” kakaknya bertanya dengan serius.
Tidak ada suara jawaban dari adiknya. Sepertinya adiknya tidak ada di situ. Si kakak terus berusaha menemukannya. Terdengar suara berisik dari dedaunan. Suara berisik dedaunan tebu itu sangat cepat. Si kakak mengira itu adalah adiknya. Dia menoleh lalu mencari siapa di sana.
Ditemukannya adiknya sudah terikat dengan tali. Adiknya meronta-ronta tak bisa bicara. Tangan dan kakinya diikat. Mulutnya dilakban. Adiknya tidak bisa berbuat apa-apa.
Mata adiknya membelalak. Menolehkan bola matanya ke belakang kakaknya. Ketika si kakak akan menoleh, sebuah karung plastik dimasukkan ke kepalanya. Ada orang yang mengikat tangan dan kakinya. Tapi dia tak bisa melihat. Plastik itu dibuka lagi, tapi dengan segera, mulutnya telah dilakban.
Yang melakukan itu adalah dua orang tadi yang mengamati adik kakak dengan serius. Mereka tertawa. Berkata kepada dua anak itu, “Kau akan kujual, nanti kau akan dipelihara orang. Kita akan segera dapat duit,” ucapnya sambil terkekeh berkacak pinggang dan menyalakan rokok.
“Kita bakar saja kebun tebu ini!” ucap dari salah satu mereka sambil menyiapkan korek dan bensin.
Adik kakak itu dalam bahaya. Mereka tidak mengingat pesan kakek mereka sebelumnya. Dan apa yang dikatakan kakek ternyata benar.
Mereka berdua sekarang sudah jadi korban keganasan penculik anak. Dua orang bejat tadi ingin melakukan hal buruk pada si adik. Dia pegangi dada anak perempuan itu. Anak perempuan itu menangis.
“Hahaha, kita bisa mainkan mereka. Terutama anak perempuan ini,” kata mereka berdua. Si kakak merasa dalam bahaya besar. Dia berusaha menjerit, tetapi tidak bisa. Si adik sedang dalam bahaya besar.
“Kita bawa mereka sekarang, keburu nanti ada orang melihat!” mereka bergegas memanggul kedua anak itu seperti barang.
Lalu diboncengkannya mereka ke sepeda motor dan mau. Entah mereka mau dibawa kemana. Orang-orang tidak ada yang kebetulan lewat daerah situ. Penculik anak itu menyusuri jalan kebun yang sempit dan berlumpur. Sekiranya ada orang, mereka akan berputar dan cari jalan lain. Tetapi tidak ada orang. Sepi sekali.
Si kakak memiliki perasaan tidak enak. Dia merasa hampir akan menemukan kematian. Dia melihat adiknya menangis. Dia juga menangis. Jalan kebun tebu berlumpur dan becek. Motor kedua maling itu dituntun sambil kedua anak itu ditumpangkannya di atas jok motor.
“Wah, gawat! Ada orang di sana! Berputar saja kita, cepat!” mereka melihat ada orang yang pergi ke kebun.
Dengan cepat mereka berputar arah. Si kakak yang tahu kalau ada orang. Kemudian menjatuhkan diri dari motor. Motor kedua penculik itu juga juga ikut jatuh. Mereka segera bangunkan lagi si kakak dan tumpangkan lagi di atas motor.
Terlambat. Orang tadi sudah tahu. Mereka lihat anak diikat dan dilakban. Lalu berlari mengejar. Kedua maling itu gugup dan segera melarikan motornya dengan cepat. Karena mereka membawa kedua anak di motornya, jalannya masih kalah cepat oleh orang yang melihat mereka tadi.
Orang tadi berhasil menyusul mereka. Dia berteriak, “Hai, siapa kalian, itu anak siapa kalian begitukan?” tanya dia.
Si kakak meronta-ronta. Adiknya masih menangis. Orang tadi berprasangka bahwa pasti dua anak itu diculik. Kemudian dia mengejar kedua penculik itu.
Lantaran tidak mau ketahuan dan ambil resiko, kedua penculik tadi menjatuhkan si kedua anak, lalu pergi melarikan diri dengan motornya. Kedua anak itu berhasil diselamatkan. Mereka sudah kapok lagi bermain di kebun. Trauma dengan kejadian tersebut.
Penulis: Muhammad Lutfi
Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Universitas Negeri Sebelasmaret
Editor: Muhammad Farhan