Mahasiswa ketika turun ke jalan, selalu mengatasnamakan rakyat untuk bersuara. Sehingga muncul beberapa pertanyaan yaitu “Rakyat yang mana?”, sebab rakyat dibagi beberapa menurut pandangan Marx yaitu rakyat kaya dan miskin. Kemudian, apakah mereka benar-benar terwakilkan suaranya oleh mahasiswa?
Dinamika politik yang baru-baru ini mencuat ke publik terkait upaya Baleg DPR yang menganulir Keputusan MK menciptakan situasi darurat demokrasi di Indonesia. Dalam hitungan jam, massa sudah turun ke jalan untuk menggugat penguasa.
Kesadaran politik umumnya dimiliki oleh mereka yang menjadi mahasiswa, terafiliasi langsung dengan organisasi pergerakan, komunitas, atau partai politik. Hal ini menciptakan kesenjangan dalam pendidikan politik di masyarakat Indonesia, yang menyebabkan hanya sebagian kecil dari masyarakat yang dapat merasakan keresahan terkait carut-marutnya keadaan demokrasi di Indonesia.
Di sisi lain, keresahan politik semakin meningkat seiring dengan dinamika sosial-ekonomi yang terus berubah. Masyarakat difokuskan pada kebutuhan sehari-hari, yang membuat mereka tidak punya pilihan selain memikirkan cara untuk bertahan hidup.
Momen seperti ini membutuhkan kanal yang memadai untuk menampung dan mengartikulasikan keresahan masyarakat secara konstruktif. Jika tidak, situasi ini tidak hanya memperkuat dominasi kelas penguasa, tetapi juga memperlemah daya tawar masyarakat umum dalam proses politik.
Fenomena ini menjadi semakin relevan ketika kita mengamatinya melalui lensa pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni kultural dan Karl Marx mengenai kesadaran kelas. Kesenjangan pendidikan politik telah menciptakan kondisi di mana masyarakat umum, tanpa disadari, menjadi partisipan pasif dalam mempertahankan status quo dan politik dinasti.
Pemikiran Gramsci tentang hegemoni kultural memberikan kita pemahaman mendalam tentang bagaimana kekuasaan dipertahankan bukan hanya melalui paksaan, tetapi juga melalui konsensus. Kelas penguasa memelihara dominasinya dengan menanamkan nilai-nilai dan pandangan dunia mereka ke dalam kesadaran masyarakat. Namun, kesenjangan pendidikan politik menjadi alat yang ampuh dalam mempertahankan hegemoni ini, karena masyarakat tidak dibekali dengan kemampuan yang kritis.
Sementara itu, Marx mengingatkan akan pentingnya kesadaran kelas dalam perjuangan melawan eksploitasi. Namun, ketika pendidikan politik menjadi eksklusif dan tidak merata, masyarakat luas teralienasi dari gerakan-gerakan yang seharusnya menjadi wadah perjuangan mereka. Akibatnya, mereka tidak mampu mengenali, apalagi melawan, bentuk-bentuk penindasan yang mereka alami dari pemerintah negeri sendiri.
Sehingga organisasi atau komunitas yang ada diharapkan bisa memfasilitasi masyarakat sekaligus menjadi penghubung untuk mereka akrab dengan pendidikan politik. Perjuangan akan menjadi lebih kuat, ketika membawa mereka yang ada di akar rumput menjadi terdidik, sehingga terbentuklah kesadaran kolektif.
Hal itu akan menjadi ancaman bagi penguasa agar tidak bertindak seenaknya sendiri, karena merasa masyarakat bodoh dan tidak akan pernah tahu apa yang mereka lakukan diam-diam. Sehingga arena pertarungan dengan penguasa, akan menjadi perjuangan bersama, bukan hanya segelintir orang.