UMS, pabelan-online.com – Aksi demonstrasi yang berlangsung di Semarang baru-baru ini diwarnai dengan penangkapan sejumlah mahasiswa oleh pihak kepolisian. Adanya dugaan pembatasan pendampingan hukum bagi mahasiswa yang ditangkap menjadi persoalan saat ini.
Aksi demo yang berlangsung di Semarang pada tanggal 26 Agustus 2024 berakhir ricuh setelah massa dan polisi terlibat aksi dorong hingga terjadi penangkapan terhadap sejumlah mahasiswa dan pelajar.
Menanggapi hal itu, Fajar M. Andhika, salah satu anggota tim advokat dari LBH Semarang menyatakan bahwa, sejak sore hari setelah penangkapan sejumlah mahasiswa, tim hukum dari Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) Jateng telah berada di Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Semarang untuk mendampingi para mahasiswa yang ditangkap. Namun, akses untuk menemui para mahasiswa tersebut ditolak tanpa alasan yang jelas oleh pihak kepolisian.
“Ini adalah pelanggaran hak karena akses bantuan hukum merupakan hak setiap orang yang ditangkap oleh pihak kepolisian,” ujar Fajar dalam keterangannya, Rabu (28/08/2024).
Menurut Fajar, penghalangan atas akses bantuan hukum, sama saja dengan menghalangi keadilan. Sebagai bentuk protes atas tindakan ini, Tim Hukum GERAM menggelar konferensi pers di Kantor Polrestabes pada pukul 10 malam tanggal 26 Agustus.
Meski demikian, pihak kepolisian tetap tidak memberikan akses kepada tim hukum untuk bertemu dengan mahasiswa yang ditahan, bahkan hingga dini hari.
Meskipun tidak ada kebijakan resmi mengenai pembatasan pendampingan hukum, tindakan kepolisian ini dianggap melanggar hukum. Mengingat hak untuk mendapatkan pendampingan hukum telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian ini merupakan tindakan melawan hukum. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum adalah hak setiap korban sejak proses penangkapan hingga proses-proses selanjutnya,” jelasnya.
Merespons tindakan tersebut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang telah melaporkan kejadian ini kepada Komnas HAM untuk dilakukan investigasi lebih lanjut. Mereka mendesak agar kepolisian berhenti melakukan tindakan represif yang melanggar hukum.
Sejauh ini, Komnas HAM masih dalam tahap investigasi dan baru melakukan dialog dengan Tim Advokasi GERAM. Sementara itu, mahasiswa yang ditangkap akhirnya dibebaskan oleh pihak kepolisian pada pukul 5 tanggal 27 Agustus, setelah diperiksa dan diminta menandatangani surat pernyataan.
“Ini aneh, mengapa harus ada syarat (Surat tanda tangan—red) seperti itu, padahal apa yang dilakukan oleh massa aksi adalah menjalankan mandat konstitusi,” tutur Fajar.
Dihubungi pada kesempatan lain, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNNES, Bahrudin Wahyu Aji Dwi Sajiwo, mendesak aparat kepolisian untuk bersikap lebih humanis dalam menangani aksi massa.
Sajiwo menyayangkan tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian saat demonstrasi berlangsung, karena tidak hanya mahasiswa yang tertangkap namun pelajar juga turut tertangkap. Ia turut mengkritik cara polisi menangani massa aksi dengan menggunakan gas air mata tentu harus diukur sesuai dengan situasi dan kondisi.
“Aparat menembakkan gas air mata secara brutal dan berlebihan, bahkan mengenai anak-anak yang sedang belajar di masjid serta wilayah pemukiman. Tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena massa aksi sudah mundur dari lokasi,” terangnya saat ditanya kronologis, Rabu (28/08/2024).
Sajiwo turut menyampaikan harapan dan pesan kepada pihak kepolisian agar lebih humanis dalam menangani demonstrasi. Selain itu, ia juga menekankan perlunya pembelajaran dari insiden-insiden sebelumnya terkait tindakan represif aparat.
“Hal ini jangan ditangkap sebagai kita membenci aparat keamanan negara ya, dan seharusnya itu diambil sebagai salah satu bahan kritik terhadap institusi Polri untuk segera melakukan pembenahan,” kecamnya.
Reporter: Syifana Putri Yustisiana P dan Ferisa Salwa Adhisti
Editor: Muhammad Farhan